Senin, 02 Oktober 2017

Senja Tak Lagi Bungkam

Kita pernah bertukar resah dibawah senja nan menjingga. Angin enggan berhembus, kian menyesakkan dada. 
Namun rona jingga senja kala itu seolah menjadi saksi bisu bahwa kita tak sedang sekedar menggelisahkan nasib diri yang sedang berada di tepi, bukan.. bukan itu.
Kita mengupas sebuah realita hidup di luar zona aman kita, yang tak sederhana. Variasi yang menjelma esensi, kekosongan menjelma keagungan, kedangkalan menjelma kecerdasan. Kita saling bertukar tanya,sampai kapan kita menjadi bagian semua itu? 
Kita tertawa, terbata dan kemudian berurai air mata. Orang-orang yang sedang berbondong pergi berpesta tertawa melihat kita dan berkata, kita gila. Kita hanya saling bertukar senyum dan bertukar nasehat; tak mengapa.

Meriah suara pesta dan suara kita hilang ditelan genderang pesta pora. Tak terdengar telinga kita sendiri. Langit menggelap. Dan tiba-tiba suara itu berubah serupa desing peluru yang siap menembus kepala. Aku gemetar, kelu dan bisu. Aku kehilangan nyali. 
Aku mulai terpikat kemeriahan pesta pora itu. Keharuman yang menyeruak, kenikmatan yang tak sederhana. Aku mendekat dan kian dekat. Mereka tak lagi menyebutku gila, aku lega. 
Kau hanya tersenyum sambil menepuk pundakku. Tak ada kerut kening , bermakna permakluman,jiwa yang selasa. Ya, aku bisa membacanya. Kau memang istimewa.
Dan.... senja berganti senja saat kita bertemu lagi dibawah senja yang jingga…
Kita tak lagi bertukar resah... ,karena aku bungkam. 
Dan dengan lirih kau berpuisi

Tak mengapa kau bungkam demi sebuah citra yang sedang kau bangun 
Namun kau tak perlu mengadili mereka yang berani bersuara demi sekitarnya

Tak mengapa kau bungkam karena hatimu tak cukup kuat menerima reaksi
Namun jangan kau tutup mata dan telingamu akan kecamuk disekitarmu

Tak mengapa kau bungkam karena tak kuasa melawan tapi pastikan kau tak akan mengeluh berkepanjangan di belakang

Tak mengapa kau bungkam tapi pastikan kau tak tercekam rasa ketakutan disebut gila

Tak mengapa kau bungkam untuk melatih diri berkata yang baik atau diam
Namun pastikan apa ukuran baik burukmu

Tak mengapa sungguh tak mengapa ....tapi sekali lagi pastikan, bungkammu bukanlah demi eksistensi dirimu yang semu

Puisimu bak sembilu yang menyayat dinding jiwaku. Ya jiwaku yang mulai lengang dan rapuh walau nasib jasadku menjadi elok ,tak lagi di tepi.
Rona jingga senja tak lagi membisu dia menatapku dan tertawa.


Kemang Pratama ,awal Oktober 2017





 *photo by Zaa zakiyah 



Senyum Sang Guru

Sejak saat itu, ambisinya untuk membuat karya indah kian meruang. Namun, seolah sang ide bergegas pergi, mood meleleh.   Tumpukan buku, ...