Sejak saat itu, ambisinya untuk membuat karya indah kian
meruang. Namun, seolah sang ide bergegas pergi, mood meleleh. Tumpukan buku, majalah hingga komik tak jua
membuat syaraf otaknya menemukan sambungan hingga mulutnya bisa berucap “ Eureka!” . Coklat, kacang almond hingga tiga
tangkai yellow daffodils yang sengaja
diletakkan di mejanya dalam vas bening tinggi hexagonal tak jua membangkitkan
moodnya.
Angin berpuput menyentuh kulitnya. Kini dia berpikir tentang
alam; angin,burung yang berwarna coklat atau hijau zaitun, gemawan aneka
bentuk, kabut, sungai, pepohonan, tanah coklat, hamparan anemone merah.
Tiba-tiba muncul kembali seraut wajah dengan
senyum ketenangan. Menyeruak diantara lukisan imaginernya.
“ Guru Tali
Jiwo !” gumamnya.
Ambisinya kembali
meruang, meranapkan semua lukisan imaginernya. Sejak setahun yang lalu, gurunya
hijrah ke sebuah desa yang masih asri.
Dia bergegas….
**
“ Guru, bantulah aku ! Berapapun yang kau inginkan aku
berusaha memenuhinya asal kau buatkan aku sebuah karya yang indah !” jelasnya sambil duduk bersila dihadapan
gurunya yang juga duduk bersila.
Tali Jiwo tersenyum, dia mulai menghirup aroma teh sambil
memejamkan matanya. Sang murid memandangnya dengan raut tidak sabar, menunggu
jawaban.
Sudah ke tiga kalinya dia menemuinya dengan maksud yang sama, tetapi Tali Jiwo
selalu menolak secara halus.
“ Guru, mengapa sejak tadi guru tidak segera meminum teh
itu?”
Tali Jiwo kembali tersenyum, kini matanya terbuka dan
menatap muridnnya dengan tajam.
“ Dengar Nak, segala hal membutuhkan proses dan menikamati
sebuah proses adalah salah satu bentuk kebijaksanaan dan kesabaran !”
Sang murid diam, Tali Jiwo mulai menyeruput teh dari cangkir
kaleng bercorak doreng hijau putih.
“Walau sekedar menikmati secangkir teh !” tambahnya.
Sang murid hanya diam namun tampak seiris tipis
kegelisahan yang mulai mengendap-endap.
Dia mengaitkan jemari dari dua tanganya. Sementara di luar padepokan itu,
petang mulai menjawat terang.
“Bagaimana Guru ?”
Tali Jiwo kembali tersenyum. Dia bangkit dari tempat
duduknya, melipat tangannya di dada, melepas pandangannya sejauh mungkin dari
rumahnya yang terletak di atas sebuah bukit penuh bunga. Sementara Sang murid
mengikutinya dengan pandangan mata saja, dia masih duduk ditempatnya menanti jawaban.
“Sebelumnya, aku ingin bertanya !” kata Tali Jiwo dengan intonasi datar
“Silahkan guru…!”
“Apakah kau sudah berusaha membuat sebuah karya dari
tanganmu sendiri?”
“Sudah guru, namun kemudian macet. Semua ide seolah
bersembunyi!”
“Mengapa bisa demikian ?”
“Emmmm…emmmm entahlah guru !”
“Coba kau ingat baik-baik….!” kata Tali Jiwo dengan tegas,
Sang murid tampak grogi sambil berusaha mengais-ngais ingatannya.Namun dia tak
jua menemukan jawaban.
“Baiklah kubantu mengingat… ketika ide itu mulai mendekat, apa
yang kau pikirkan?”
“ Aku sangat bahagia,
aku segera menulis kemudian aku
membayangkan aku akan menjadi terkenal dengan karyaku..!” jelasnya.
“ Emmm…itulah yang
membunuh ide kreatifmu , Nak !” kata
Tali Jiwo , Sang murid hanya tertunduk pipinya sedikit panas.
“ Ya sudahlah…lalu, siapkah kamu dengan segala resikonya bila
aku memenuhi permintaanmu?” tanya Tali Jiwo kemudian, pandangan matanya masih
pada obyek yang sama.
“Resiko? Ah..Guru bercanda, resiko yang sangat menyenangkan
bukan? tentu saja aku siap Guru !” jawabnya sambil tersenyum kemudian menghampiri
gurunya. Tali Jiwo bergeming.
“ Pulanglah, ku kabulkan permintaanmu !”
Sang murid bergegas pergi,
**
Beberapa bulan kemudian….
“Guru, mengapa guru tidak memperbaiki rumah guru? bukankah….
!”. Sang murid merasa sungkan melanjutkan …
“ Lau akan mengatakan….bukankah kau telah memberikan
sejumlah uang yang banyak padaku karena aku menulis sebuah karya indah
untukmu?” tanya Tali Jiwo
Sang murid mengangguk perlahan, tak berani menatap mata Sang
Guru. Tali Jiwo tersenyum.
“Aku sangat menikmatinya Nak !” jelasnya kemudian.
“T…tapi, mengapa eh…maaf, mengapa rumah guru masih saja
seperti ini? “ tanya Sang murid memberanikan diri.
Tali Jiwo lagi-lagi
hanya tersenyum. Sesaat kemudian..
“Mari ku tunjukkan sesuatu ..!” ajalnya sembari bangkit dari
duduknya kemudian berjalan keluar , menaiki bukit .
“Guru, kita akan kemana?” tanya Sang Murid.
Tali Jiwo terus berjalan tanpa menjawab pertanyaan muridnya.
Beberapa saat kemudian dia berhenti di sebuah rumah berdinding bambu namun
lebih indah dibanding rumahnya.
“Lihatlah !” kata Tali Jiwo sambil tersenyum.
“Ohh..jadi Guru sudah membuat rumah baru ini? Mengapa Guru
tidak segera menempatinya?” tanya Sang murid.
“Ini bukan rumahku !” jawab Tali Jiwo . Si murid mengerutkan
keningnya.
Sebelum Sang Murid memberondongnya dengan pertanyaan, Tali
Jiwo menambahkan…
“Sejumlah uang yang
kau berikan beberapa waktu yang lalu, kugunakan membangun padepokan ini, mari
masuklah !” Tali Jiwo bergegas membuka pintu rumah itu meninggalkan Sang
Murid yang masing mematung.
Beberapa buku tertata rapih di rak-rak dari kayu jati yang
kokoh. Ada sebuah peta dunia yang besar tertempel di dinding. Hanya ada
beberapa meja dan kursi, selebihnya hanya hamparan tikar pandan yang menebar
aroma harum yang eksotik.
“Setiap hari ada saja yang datang ke padepokan ini, terutama
anak-anak muda..saya sangat bahagia dan yang lebih menggembirakan, mereka
sangat antusias ketika ku tawarkan pada mereka tentang ketrampilan menulis. Hampir setiap hari mereka
datang untuk membaca buku dan belajar menulis .”
Tali Jiwo tersenyum, Si Murid membisu.
Tali Jiwo tersenyum getir benaknya berkata…
Biarlah,
aku menuruti kemauan satu murid yang berambisi asalakan aku bisa membimbing
puluhan murid yang sangat menikmati
sebuah proses. Mungkin baru sampai disitulah perjalanan batinnya…semoga dengan
pengalaman yang baru saja diihatnya, dia
akan berubah.
Solo 2012