PEMINTAL CERITA
John Edgar
Wideman
Seorang pria tengah berjalan di tengah hujan sambil mengudap pisang. Dari
mana dia datang. Ke mana dia hendak pergi. Kenapa dia mengudap pisang. Seberapa
deras curah hujan saat itu. Apakah dia keberatan diguyur hujan seperti itu. Seberapa
cepat ia melangkah. Apa yang sedang dia pikirkan. Siapa yang melontarkan
rangkaian pertanyaan ini. Siapa yang harus menjawabnya. Kenapa. Siapa peduli.
Memang ada berapa banyak pertanyaan yang bisa dilontarkan tentang seorang pria
yang sedang berjalan di tengah hujan sambil mengudap pisang. Apakah pertanyaan
yang tadi telah terlontar termasuk dari rangkaian pertanyaan tersebut atau
masih ada pertanyaan lain, yang tak ada sangkut pautnya dengan si pria, atau
perjalanannya, ataupun hujan yang mengguyur. Jika bukan, lantas apa yang mau
ditanya. Apakah satu pertanyaan nantinya akan melahirkan pertanyaan lain. Jika
iya, apa gunanya. Jika tidak, apa kira-kira yang akan jadi pertanyaan terakhir.
Apakah pria itu tahu jawabannya. Apa dia suka makan pisang. Atau berjalan di
tengah hujan. Apa dia bisa merasakan beban perhatian yang diarahkan kepadanya
oleh berpasang-pasang mata di sekitarnya, yang melempar beban pertanyaan ke
arahnya. Mengapa warna kuning buah pisang yang begitu mencolok jadi
satu-satunya warna yang terlihat: warna terakhir yang masih tersisa di tengah
dunia yang begitu kelabu, yang saat diguyur hujan justru membuat segalanya
terlihat semakin abu-abu. Aku mengenali pola pertanyaan yang datangnya
bertubi-tubi. Dan satu-satunya jawaban yang bisa kuberikan adalah ini: ada
begitu banyak cerita yang bisa kutulis tentang seorang pria yang tengah
berjalan di tengah hujan sambil mengudap pisang, namun bisa dijamin semuanya
bernada sedih — kecuali aku ada di belakang jendela, bersamamu, dan
mengamatinya dari kejauhan.
Hujan tak
terlampau deras mengguyur kota kecil itu. Jeremy menghabiskan potongan pisang
terakhir sambil terus berjalan, tak peduli coat panjang warna coklatnya mulai
basah. Sepotong pisang segar tadi seolah memberikan energy tersendiri agar dia
bisa berjalan cepat ditengah hujan. Orang-orang yang sedang berteduh menatapnya
heran, Jeremy tak memperhatikan. Dia terus berjalan cepat. Bukan karena takut
hujan,tetapi seolah dia ingin segera sampai di suatu tempat.
Sampai di
tikungan Jeremy berbelok, menelusuri jalan-jalan sepi berumput kemudian menuju
sebuah rumah tua yang halamannya ditumbuhi banyak sekali pohon cemara.
Perlahan-lahan dia mengetuk pintu itu
“Sterla,aku
datang !”
Namun pintu
rumah itu tak juga terbuka. Dia melihat ke arah bel dengan malas, sudah
berminggu-minggu bel itu mati. Tetapi dia berpikir,apa salahnya dia mencoba. Sterla
membuka pintu.
“Kemana kau
Sterla, biasanya kau menungguku di ruang tamu !”
“Aku tadi
terlambat bangun, aku sedang memasak kudapan untukmu !”
“Mengapa
terlambat? Kau masih mengkonsumsi obat tidur itu?”
“Emmm….,tidak
ehh iya,hanya separuh !”
“Kenapa,bukankah
kau sudah tidak meminumnya sejak seminggu ini?”
“Aku
gelisah !”
“Apa yang
membuatmu gelisah?”
Sterla
hanya diam,kemudian menyodorkan Banana Pancake pada Jeremy. Wajah Sterla muram.
“Ada apa Sterla?”
Jeremy
menghentikan kunyahannya kemudian terbatuk,seraya mengambil minuman.Memandang
Sterla dengan sedih.
“ Mengapa
Sterla,apa lagi yang mengganggu pikiranmu ?”
Sterla
hanya diam. Hujan melebat, angin kencang menunduk-nundukkan cemara. Sterla
bergegas menuju jendela kemudian menutupnya. Namun dia tak juga beranjak dari
dekat jendela. Matanya memandangi Jeremy yang sedang menikmati Banana Pancake
yang ke dua. Sterla beringsut menuju dapur, Jeremy asyik membaca koran sore. Tiba-tiba
tenggorokannya sperti tercekat. Jeremy mengaduh.
“Tak perlu
menjerit untuk meredakan rasa sakit!”
Jeremy
mendelik,nafasnya tersengal.
“Kau
seorang psikiater, ayo tunjukkan kekuatanmu menahan sakit !” kata Sterla dengan santa seraya menghisap rokoknya.
“Kekk !”
Sterla
tertawa lepas. Langit kian kelabu kemudian menggelap dan senyap.
Sterla
memberikan penawar racun pada Jeremy,dengan syarat Jeremy tidak perlu lagi
menjadi terapisnya.
Dengan wajah
sendu Sterla menatap foto anak –anak dan cucunya yang tergantung di dinding.
Selama ini Jeremy mempercayai,bahwa mereka semua sudah tiada dan Sterla sebatang kara.
Amadia Raseeda
Amadia Raseeda
**
Benar kata
John Edgar Wademan, ceritaku menjadi kelabu karena aku tidak duduk bersamanya.