“Bagaimana jika kita mencoba menemui
menantu kita masing-masing?” kata Pak Marzuki seketika nampaknya pemikiran itu
sudah bersarang sejak tadi dalam benaknya.
“
Misinya?” tanya Bu Syahriza
“ Misinya perdamaian tanpa menggurui melainkan memberi teladan!”
jelas Pak Marzuki.
“Setuju
Pak,
perbuatan berbicara lebih lantang daripada kata-kata!” sahut Bu Hesti. “Saya ingin menjenguk Faisal, saya
juga sudah kangen humor segarnya !” imbuhnya.
Mereka sepakat tentang misi itu dan telah mempersiapkan rencana satu, dua dan
tiga bila memungkinkan. Dan rencana itu akan diluncurkan tergantung situasi yang
mereka hadapi nanti saat bertemu menantu masing-masing.
**
Pagi itu, mertua Wulan datang ke rumah orangtua Wulan. Bu Syahriza
langsung memeluk Wulan kemudian mencium pipi dan jidat Wulan sebelum Wulan sempat mengulurkan tangan untuk
bersalaman. Ketika Wulan
mencium punggung tangan ayah mertuanya
tangan kiri Pak Marzuki spontan mengelus kepala Wulan penuh kasih. Semua berjalan
dengan sangat alamiah tanpa kepura-puraan.
“Apa
kabar Nak?” tanya Pak Marzuki sambil tersenyum menatap Wulan yang tak kuasa menahan
air matanya.
“Mana
cucuku?” tanya Bu Syahriza.
Tak lama kemudian Bu Hesti muncul sambil
menuntun Najwa, di susul Pak Prasetyo. Najwa langsung menghambur ke pelukan
neneknya yang sering mendongeng untuknya tentang burung hantu kecil yang lucu
dan cerdas. Matanya bulat dan lebar seperti Najwa.
“Coba
tebak, apa ini?” tanya Pak Marzuki,
Najwa bergegas megambil bungkusan kecil dari tangan Pak Marzuki. “Eit, tidak
bisa....sayang kakek dulu!”
Najwa segera mendaratkan ciuman di pipi
kakeknya dan meraih bungkusan itu. Boneka burung hantu kecil dan kue. Najwa
kegirangan sekarang menghambur ke pelukan ibunya, memamerkan bonekanya.
“Ibu nangis?”
tanya Najwa dengan polosnya sambil memegang-megang mata Wulan.
“Wahh lucu yaaa burung hantunya!” selimur Wulan sambil mengelus kepala putrinya.
“Sebentar ya, Ummi mau membuat
minuman untuk Kakek dan Nenek!”
Wulan tergugu di dapur. Tangannya tak
juga mengambil cangkir di hadapannya. Dia
sangat terharu, tak terpancar kemarahan dan kebencian segaris pun di wajah
mertuanya. Justru Wulan merasakan kasih sayang yang seolah ditumpahkan dari
hati. Rasa malu dan bersalah yang
sangat atas prilakunya selama ini sedang
menyerangnya dengan hebat.
Berkali-kali dia menghapus air matanya tetapi masih saja mengalir.
“Lan,
mertuamu minta air putih !” kata Bu Hesti tiba-tiba dari belakang punggung
Wulan. “Sudah Lan, kamu jangan menangis seperti itu. Kurang bagus buat psikis
Najwa.”
Wulan mengangguk, menghapus air matanya
kemudian menarik nafas dalam. Dia bisa menghentikan air matanya tetapi tidak
bisa menyembunyikan mata sembabnya ketika harus menyuguhkan minuman. Tetapi
seolah dia sudah tidak peduli lagi. Mereka semua orangtua yang sangat di sayanginya. Dia hanya perlu mempersiapkan jawaban cerdas untuk
pertanyaan Najwa. Entah satu, tiga atau tujuh menit lagi bahkan bisa jadi besok
dia masih menanyakan.
“Bagaimana
bisnis tanaman hias
mu Lan?” tanya Bu Syahriza.
“Alhamdulillah
lancar Bunda, kemarin ada yang memesan
beberapa jenis bunga, katanya untuk hari Ahad yang akan datang bahkan kami sempat kekurangan, untung
saja masih ada waktu untuk mencarikan kekurangannya ! ”
“Alhamdulillah,
untuk acara apa rupanya pakai bunga banyak-banyak ?” tanya Pak Marzuki.
“Saya
kurang mengerti Yah, Kemungkinan...emm, untuk
keperluan dekorasi pernikahan!”
jawab Wulan. Tiba-tiba wajahnya sendu. Bu Syahriza melirik ekpresi wajah Wulan
kemudian menarik nafas perlahan.
“Terus
bagaimana Lan?” tanya Pak Marzuki
“Yaa...sedang mencari
kekurangannyanya, Yah .”
“Perlu
bantuan Ayah, Lan? Nanti Ayah bantu mencari ke bukit berbunga hehee...” gurau
Pak Marzuki.
Tawa mereka berderai. Suasana sangat hangat, seperti tidak terjadi apa-apa antara
Wulan dan Faisal. Seperti tidak ada sebuah misi mulia antar besan yang sedang
di jalankan. Tiba-tiba Bu Syahriza nampak panik setelah membaca sms kemudian mohon
pamit dengan alasan harus menemui seseorang sedang sakit. Pak Marzuki mengatakan, padahal dia
masih merasa betah.
“ridho
atau tidak nih, mengantar istri ?” tanya Bu Syahriza.
“He
heee beramal ikhlas memang susah, kalau mudah surga tak lagi spesial dan neraka
tak lagi mengerikan. Tapi, yang penting terus berusaha untuk ikhlas“ jawab Pak
Marzuki sambil tersenyum dan bangkit dari duduknya.
Spontan semua seperti tertegun dengan
kalimat elok itu. Terutama Wulan, matanya kembali berkaca-kaca. Keikhlasan ,
sebuah kata yang tiba-tiba menghujam hatinya. Membuatnya bertanya pada dirinya
sendiri, sudahkah dia ikhlas menerima segala kejadian baik ataupun buruk yang
hadir di hadapannya?
**
“Ibu tadi tiba-tiba
pamit, itu di luar
skenario kan?” tanya Bu Hesti setengah berbisik melalui telepon rumah.
“Iya,
di luar scenario, Faisal terkilir kakinya!”
jawab Bu Syahriza
“Ohhhh...begitu, sekarang bagaimana kondisi Faisal?”
“Sudah
di urut tetapi masih kesulitan berjalan makanya tadi terpaksa dia memberi kabar saya.”
“Ohhh
begitu, Ya
Allah, kasihaaan
menantuku .” kata Bu Hesti. Beberapa menit kemudian Bu Hesti menutup telepon
“Siapa
yang kasihan, Ma?” tanya Wulan tiba-tiba dari belakang punggung ibunya.Telinganya
menangkap kata menantu.
Bu Hesti mematung karena terkejut dan bingung.
Wulan kembali bertanya, ingin memastikan bahwa yang di dengarnya tadi tidak
salah.
“
Sudahlah Lan, kamu kan sudah tidak peduli dengan Faisal !” jawab Bu Hesti
singkat sambil berlalu menuju kamarnya.
Wulan hanya melongo, mengikuti langkah
Ibunya dengan tatapan matanya. Ketika pintu kamar tertutup, Wulan
terhenyak. Sementara itu di balik pintu Bu Hesti sedang bersandar sambil
menutup mulutnya dengan telapak tangan. Sebenarnya dia ingin menjelaskan pada Wulan
tentang apa yang sebenarnya terjadi, Faisal terpeleset di tangga, kakinya
terkilir cukup parah. Tetapi Bu Hesti merasa takut salah karena Faisal melarang
saat Ibunya berniat memberi kabar pada Wulan bahwa dirinya sedang sakit.
Sebenarnya Bu Hesti juga tidak berniat mengatakan seperti apa yang di
ucapkannya tadi. Entah mengapa seperti meluncur begitu saja,di luar kendalinya.
Akhirnya yang ada permohonan agar kalimat itu bisa membawa kebaikan.
Sore itu langit terkurung mendung. Seolah
mendukung perasaan gelisah yang sedang mengepung Wulan. “Sudah
tidak peduli dengan Faisal”,
ucapan itu membuatnya bertanya-tanya apakah benar dia tidak peduli lagi dengan
suaminya, bila saat ini dia sedang penasaran dengan apa yang terjadi dengan
suaminya. Tiba-tiba dia juga teringat satu hal. Biasanya, saat cuaca mendung
Faisal memintanya membuat the hangat kemudian mengajaknya duduk di teras.
Faisal menyebutnya upacara menunggu hujan. Wulan tersenyum mengingat hal itu.
Kerinduan pada suaminya datang kemudian kembali merasa gelisah, bertanya-tanya
lagi apa yang sedang terjadi pada suaminya. Tetapi dia tak juga mengangkat telepon untuk menghubungi suaminya. Tidak
pula berani bertanya lagi pada ibunya. Bila Faisal pernah di hadang rasa
cemburu, sekarang Wulan sedang di hadang rasa gengsi. Apakah dia takut
menyungkurkan rasa itu atau egonya yang menariknya agar mundur?
Pak Prasetyo mendekati Wulan yang sedang
termenung sendiri di ruang tamu. Tetapi berlagak
tidak mengerti dengan apa yang sedang di rasakan anaknya. Pak Pras membaca
koran tetapi sebenarnya dia menunggu Wulan untuk berbicara. Ya berbicara tentang harapannya, tentang niatnya tentang
isi hatinya. Kemarin-kemarin dia terlalu banyak bertanya dan tampaknya itu
bukan tindakan yang tepat setidaknya
demikian hasil “rapat antar besan” beberapa waktu yang lalu. Sebenarnya Pak
Pras mulai ragu, jangan-jangan saat ini adadalh saat yang tepat untuk bertanya.
“Pa....!”
panggil Wulan tiba-tiba
“Ya...!” jawab Pak Pras sambil menurunkan korannya
sedikit, memandang Wulan. Tetapi Wulan malah menunduk.
Pak Pras meletakkan korannya “Ada apa
Lan?”
“
Ah nggak Pa, nggak jadi.”
“
O, tidak bisa !” gurau Pak Pras, Wulan tertawa kecil.”Mau ngomomg apa Lan?”
Akhirnya Wulan berani bertanya tentang kabar
Faisal.. Pak Pras
memberi jawaban singkat bahwa kaki Faisal terkilir. Begitu saja, karena demikian skenario yang segera
mereka buat sejak Wulan tanpa sengaja mendengar ucapan ibunya di telpon.
“
Emm....tapi bagaimana kondisinya Pa?” tanya wulan setelah diam cukup lama.
“Kabarnya
lumayan parah, tidak bisa jalan.” jawab Pak Pras santai sambil megambil koran
yang tadi di lipatnya. Sesekali melirik ekspresi wajah Wulan yang kaget dan kemudian
berubah murung.
Telephone rumah berdering, Pak Pras
bangkit dari duduknya sementara Wulan hanya memandang ayahnya dengan wajah bergambar kecemasan. Pak Pras menerima telepon dari
kawannya, tertawa-tawa, Wulan merasa
lega, bukan berita buruk tentang suaminya pikirnya. Dia berjalan mondar mandir
dari ruang tamu ke ruang tengah kembali lagi ke ruang tamu. Pak Pras menangkap
kecemasan anaknya tetapi dia
bertahan diam, sekali lagi memang demikian skenarionya. Bukan tega membiarkan
anaknya dalam kecemasan tetapi memang sengaja membuat anaknya berani mengambil
langkah yang pasti atas kesadaran sendiri. Dia mahasiswi managemen dan sudah
teruji keberhasilannya membantu mengurus usaha penginapan keluarganya bahkan mengelola
usahanya sendiri. Sekarang
saatnya dia belajar menata emosinya dalam
mengatasi masalah rumah tangganya. Selama ini Pak Pras banyak memberi masukan
tetapi belum tampak titik terang. Padahal kalau dicermati masalahnya tidak terlampau berat. Di cemburui
pasangan terkadang kan malah menyenangkan,
tandanya dia cinta dan takut kehilangan kita, kata Pak Pras waktu itu. Tetapi di satu sisi Pak Pras juga
memaklumi perasaan Wulan yang merasa
terhina. Ya, memang anaknya tipe istri setia dan bisa menjaga diri.
Tentu saja tuduhan Faisal membuatnya
terluka. Apalagi setelah pertengkaran mereka terjadi, istri Hasto ternyata sempat mengirim pesan padanya agar
tidak bermain api. Rasa kesal kian meraja di hati
Wulan, sekarang dia mengerti mengapa Faisal bersikap aneh padanya. Wulan mulai
merasa bersalah atas tuduhannya pada Faisal tetapi masih ada satu hal yang
masih mengganjal pikirannya, tentang anak Bu Helena. Wulan tak mengunggkapkan
kerisauannya pada siapapun, dia menelannya sendiri. Pesan dari istri Hasto tidak
pernah di tanggapinya walau sisi lain dari dirinya membujuknya memarahi istri
Hasto, agar tidak sembarangan berbicara. Kalau toh tidak begitu, sebenarnya bisa saja dia mengadukan tuduhan istri Hasto pada Hasto. Tetapi Wulan khawatir masalah rumah
tangganya menjadi makin rumit ketika dia membuka akses komunikasi dengan Hasto.
Alasannya karena sebenarnya Wulan sempat menangkap sorot mata Hasto yang
menurutnya agak aneh, Wulan merasakan Hasto masih menyukainya. Wulan mengakui
ketajaman Faisal dalam mendeteksi bahasa tubuh Hasto saat itu, saat mereka
bertemu tanpa sengaja di penginapan orangtua Wulan. Bahasa tubuh Hasto yang menunjukkan rasa suka yang masih tersisa
pada Wulan. Namun Hasto adalah pria yang cukup sopan dan bisa mengendalikan
dirinya.
Jam dinding berdentang sepuluh kali. Pak
Pras mengingatkan istrinya harus menghubungi Bu Syahriza yang malam ini menginap
di rumah Faisal.
Informasi yang di dapat dari Bu Syahriza,
sejak tadi siang hingga pukul sepuluh malam Wulan belum menghubungi Faisal
maupun menelpon rumahnya. Keras kepala atau keras hati atau belum mampu
menyungkurkan gengsi? Ternyata Wulan masih merasa gengsi walau kerinduannya
pada Faisal meletup-letup dan rasa khawatir terus terukir di pikir sejak
mendengar kabar Faisal terkilir. Sementara Faisal masih belum bersedia bila
Wulan di beritahu tentang kondisinya.
**
Mengisi
harinya yang kian sepi, Wulan menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan
seminar, mendatangi pameran tanaman dan kegiatan rutinnya, mengikuti kajian
keagamaan beberapa kali dalam seminggu dan melaksanakan program-program yang
telah mereka rancang. Namun kesepian masih meraja di jiwanya. Apalah artinya
ilmu setinggi angkasa bila dia tidak mengamalkannya, bila ego masih menjadi
sesuatu yang besar sementara dalam sehari entah berapa kali dia mengucap
Allahuakbar. Apalagi tema kajian tadi adalah silaturahim, yang maknanya
demikian dalam. Menyambungkan yang terputus. Dan orang yang lebih dulu berusaha
menyambung silaturahim akan mendapat pahala yang besar.Demikian bisik hatinya
sepulang mengikuti kajian pagi itu. Lima menit kemudian dia membalikkan arah mobilnya
menuju rumahnya.
Tiga kali dia menekan bel rumahnya
namun tidak ada tanda-tanda pintu terbuka. Tak putus asa, dia mencoba menghubungi
telepon rumahnya hingga tiga kali tetapi nihil, tidak ada yang mengangkat.
Demikian juga ketika dia menghubungi Hp suaminya, nihil.sedang tidak aktif,
“Ya
Rabbi, kuatkan hatiku agar tidak berbalik pada kebodohan lagi!” bisik Wulan
sambil menyurut air matanya sambil menuju mobilnya.
Dua puluh menit kemudian Wulan
sudah berada di toko bunganya “Zahra Garden” sebuah toko bunga hidup yang lebih mirip dengan kebun. Ada beberapa pohon besar dan rindang, ayunan,
dan gazebo. Bahkan di tempat itu juga ada tempat pembibitan tanaman. Walau
bukan sarjana pertanian, Wulan memang memiliki minat yang tinggi terhadap
tanaman hias, alhasil hobinya itu bisa menghasilkan uang.
Wulan berjalan-jalan sambil
mengamati dagangan sekaligus kesenangannya itu. Tetapi kali ini pikirannya
tidak sedang fokus pada tanamannya melainkan pada suaminya dan seonggok hatinya
yang benar-benar sedang lara. Dia ingin menyembuhkannya dengan kata maaf dan
berharap di maafkan. Memelihara ego ternyata membuatnya kian sakit jiwa, tak
bermakna apa-apa tak pula berpahala, pikirnya sambil mengamati tunas-tunas muda
tanaman sansivera. Saat memandangi tunas tanaman itu, tiba-tibadia berpikir, sansivera adalah tanaman yang bisa mengikat
radikal bebas dan polusi. Kabarnya di sekitar pembangkit nuklir AS, ada ratusan
hektar lahan sansivera. Wulan menghembuskan nafas, radikal bebas...ya dia merasa
jiwanya terlampau banyak radikal bebas yang bisa membuat kanker hati. Marah,
dendam, gengsi, suudhon, egois.
“Ya
Allah, terimakasih, kau maha pembimbing, kau arahkan mataku untuk melihat tunas
sansivera itu. Astaghfirullah, laahaula wala quwwata illa billah...tolong aku
ya Allah !” ucapnya lirih tetapi sangat dalam.
Dengan langkah agak gontai Wulan berjalan
menuju kursi panjang di bawah pohon rambutan. Lima menit kemudian Hp nya
berbunyi. Ibunya mengajaknya ke Islamic Book Fair di Istora Senayan. Ajakan
yang cukup menyenangkan, Wulan baru sadar, bahwa Islamic Book Fair sudah datang
lagi. Dia menarik nafas dalam, teringat, tahun lalu dia mengunjungi IBF bersama
Faisal, berdua saja karena Najwa memilih ikut neneknya. Mereka benar-benar
menikmati waktu berdua yang istimewa. Sekarang, kondisinya sudah berbeda. Wulan
menarik nafas dalam,perih.
**
Sudah
dua puluh menit mereka berjalan berkeliling dari stand ke stand. Ketika mereka
akan meninggalkan sebuah stand buku lama, tiba-tiba Bu Hesti tidak nampak. Wulan
nampak mencari-cari ibunya tetapi Pak Pras tenang saja sambil meyakinkan Wulan bahwa
ibunya tidak berada jauh-jauh dari mereka. Benar saja, tiba-tiba Bu Hesti sudah
muncul lagi dari arah mushola. Wulan sedikit protes, Bu Hesti hanya tersenyum
dan meminta maaf kemudian segera mengalihkan pembicaraan seraya mengajak mereka
ke sebuah stand salah satu penerbit terbesar di Indonesia. Tidak banyak kata, Pak Pras segera berjalan
ke arah yang ditunjuk Bu Hesti.
“
Lan,si Gita tadi minta di carikan islamic chicken soup parenting, tolong kamu
yang mencarikan ya. Kamu kan lebih
faham, Mama mau lihat-lihat buku ini dulu, untuk keperluan penginapan kita Lan, biasa...soal tata
ruang, dekorasi hehe !”
Wulan pun berjalan dari rak ke rak
sampai akhirnya menemukan jajaran buku islamic parenting. Wulan mulai bingung
memilih yang mana, semua menarik, semua bagus, semua penting tetapi Gita hanya
minta dibelikan satu saja dan katanya terserah Wulan. Tangan kanan dan kiri
Wulan memegang buku yang berbeda, menimbang-nimbang memilih yang mana. Akhirnya
dia meletakkan dua buku itu ke tempatnya dan mengambil telponnya, dia berniat
menelpon Gita lebih dahulu untuk memberikan gambaran tentang buku tersebut. Baru
saja meletakkan telepon di telinganya.....
Tiba-tiba
mata Wulan terbelalak, dia segera menurunkan telepon. Matanya terkunci pada
mata itu, degup jantungnya berdetak lebih kencang. Ada perasaan indah yang
membuatnya salah tingkah tak karuan. Demikian juga orang yang berada sekitar
tiga meter di hadapannya, tampak kaget dan salah tingkah, Namun kemudian
masing-masing mengulum senyum sambil mengalihkan pandangan.
Bersambung...
#NulisRandom2017
#harike21