Kamis, 29 Juni 2017

Martini, Kau Tak Sendiri



                Wanita itu sedang menghisap rokok filter ramping di dekat lapaknya, tampak sangat menikmati. Seorang wanita paruh baya datang, dia buru-buru meletakkan rokoknya sambil tersenyum malu. Tak lama kemudian tangannya mulai bergerak cepat dan terampil membungkus nasi uduk untuk wanita itu.   Sekitar sepuluh menit kemudian dia menyusup diantara kerumunan orang sambil membawa gelas kopi di kedua tangannya. Sret..sret… dan lolos, mirip iklan penurun berat badan. Gerak cepat dan lincah penuh semangat.
Kesekian kalinya bertemu dengan wanita itu, yang ada di kepala Bu Bastian masih sama, yaitu Mulan Jameela. Oleh karena itulah dia selalu memanggilnya Mulan. Bila di panggil dengan nama itu dia akan tersipu malu bersemu tersanjung dan berkata “ Ah, bisa saja!”. Tubuhnya ramping cenderung kerempeng, pipinya sedikit kempot, kulitnya juga tidak terlampau terang tetapi tetap saja cantik. Kaos dan jeans ketat sering membalut tubuhnya, walau kerempeng tetap saja penampilannya itu membuat mata tukang ojek dan tukang parkir di sekitar lapaknya melotot dan  para pedaganga wanita memiringkan bibir.  
Dia termasuk beruntung, orangtuanya masih memiliki rumah di sekitar pasar itu. Sebagian besar pedagang pasar tersebut menyewa tempat pada Pak Haji Sobirin. Pasar Pagi demikian sebutannya. Letaknya di sekitar lingkungan perumahan menengah ke atas, tetapi kondisi pasar itu tak kalah kumuh dengan pasar-pasar lain. Setiap kali hujan turun sudah di pastikan becek di sana sini, belum lagi sampah yang berantakan, menebar aroma menyengat tak sedap.
Beberapa bulan belakangan, lapak Martini  tutup. Berita tak sedap tentangnya mengudara, tak kalah dengan aroma sampah busuk di pasar itu.        
“Aku harus bagaimana Pak ?” tanyanya dengan suara retak
Laki-laki itu menyeret kursi cukup keras, menimbulkan suara derit khas. Martini bergidik sambil menciutkan matanya
                “ He hee…ngilu ya, seperti perasaanmu saat ini kan ?” tanya laki-laki itu. Martini mengangguk
                “ Minum dulu..!” kata seorang wanita paruh baya yang duduk di samping laki-laki itu.
Lebih dari satu jam mereka berbincang. Namun wajah Martini belum juga terang, masih ada bara dendam yang menyala di matanya.
                “ Sebelum aku menutup lapak nasi uduk, berita tak keruan itu sudah sering terdengar. Sekarang kondisi ekonomiku membaik, tak lagi berjualan nasi uduk. Semakin menjadi –jadi saja berita buruk tentang aku, Ya Tuhaaaan !”
                “Sudah, biarkan saja !” hibur Bu Bastian sambil menepuk pundaknya “Adukan sakit hatimu pada Tuhan, menagislah padanya. Tuhan mendengar do’a orang yang terdholimi!” tambahnya
Lima menit kemudian Martini meninggalkan rumah pasangan pebisnis itu, pelanggan nasi uduknya. Martini memasuki gang kecil, jalan pintas menuju rumahnya. Pemandangan sangat berbeda, rumah bedeng berjajar, jemuran bertebaran di depan rumah dari pakaian dalam sampai sepre, got mampet dan tentu saja sampah berserakan. Kampung itu sebagian besar di singgahi pedagang Pasar Pagi.
                “Permisi Pok!” sapa Martini , namun tak ada satu pun yang menjawab.
                “Eh, kalau pakai jilbab demi uang masuk surga kagak Pok?” sindir si Leha
                “Yeee… mene ketehek Pok Piah , tanya ama malaikat noh !” 
                “Songong bet dah , malaikat di bawa-bawa ! nyang songong ya nyang mata duitan !!” sahut Leha.
Martini menghela nafas. Bara di dadanya hampir menyala lagi. Mulutnya komat-kamit membaca istighfar sambil mempercepat langkahnya.
                “Brakkkkkk !”
Martini membuka pintu kamarnya kencang kemudian membanting tubuhnya ke ranjang. Tangisnya pecah. Hatinya seolah sudah lumat.  Dia segera membasuh air matanya ketika mendengar putri sulungnya kelas tiga SMP datang dari sekolah dan memanggilnya.
                “Masak apaan Nyak?”
                “Nyak kagak masak No’, Nyak lagi pusing. Beli makan di warteg ya..!”
                “Nyak kenapa???? “ selidik Eka ketika mendapati mata Ibunya agak memerah.
Eka menghambur ke pelukan ibunya sambil terisak. Martini segera meyakinkan putrinya bahwa dirinya baik-baik saja. Gadisnya tampak lega kemudian bergegas menuju warteg.
Eka, sulung Martini sangat tidak tahan bila  melihat ibunya sakit atau tampak murung. Sejak usia 9 tahun dia hidup bersama ibu dan dua adiknya, ayahnya menghilang tanpa pesan. Sejak saat itu, Martini berjuang sendiri menghidupi anaknya dengan berjualan nasi uduk dan membuka warung kopi. Warisan tanah dari orangtuanya seolah tak pernah di hiraukannya. Yang ada di kepalanya hanya satu, tanah itu untuk anak-anaknya kelak. Martini wanita berpendirian kuat, ketika kawan-kawan sebayanya menikah, dia bertahan melanjutkan sekolahnya hingga lulus SMK. Dia berniat melanjutkan kuliah tetapi orangtuanya tidak mengizinkan dengan alasan yang sangat klise, tidak ada biaya dan wanita tidak perlu sekolah tinggi. Padahal dia faham, bila orang tuanya mau menjual sepetak tanahnya saja, dia bisa menggapai mimpinya. Tetapi orangtuanya terlampau sulit di goyahkan, dia hanya bisa menelan rasa kecewanya. Setengah tahun kemudia Martini menerima lamaran seorang laki-laki perantau yang sempat menarik perhatiannya walau belum bisa dikatakan cinta. Ketika sulungnya berusia 9 tahun suaminya pergi menengok keluarganya. Sejak saat itu suaminya  tidak muncul-muncul lagi.
Martini mulai membuka warung kopi dan nasi uduk. Tetapi, sejak bertemu Bu Bastian yang sering memanggilnya dengan Mulan Jameela, dia mendapat banyak informasi dan inspirasi untuk mengembangkan usahanya. Tanah kosong peninggalan orangtuanya yang dulu pernah diinginkannya untuk melanjutkan kuliah, di manfaatkannya sebagai penampungan barang-barang bekas terutama kertas.  Dia dan 3 anaknya tinggal bersama orangtuanya sejak suaminya menghilang. Usahanya menerima barang-barang bekas mulai maju, sejak saat itulah isyu tak sedap tentang dirinya berhembus. Martini di kabarkan menjadi istri simpanan orang komplek dekat pasar dan dari situlah dia mendapat modal. Ada lagi isyu bahwa dia menjadi istri muda haji Sobirin, pemilik tanah pasar Pagi makanya sekarang dia berjilbab dan tidak merokok. Yang paling menyakitkan hati Martini adalah isyu bahwa dirinya pernah menjadi wanita panggilan.
**
                Martini  bersiap ke lapak barang bekasnya, dia menarik sebuah blouse bunga-bunga dari tumpukan pakaiannya. Dia berdiri lama di depan almarinya, tak segera beranjak. Tangannya membuka lembaran kertas kado yang digunakannya sebagai alas pakaian di almarinya. Selembar foto lusuh itu di tatapnya dalam, matanya berkaca-kaca.
Foto dirinya bersama ke tiga anaknya  yang ditemukannya di antara tumpukan kertas bekas beberapa minggu yang lalu. Saat seorang tukang rongsok menyerahkan segerobak kertas bekas ke lapak barang bekasnya. Masih ada sejumput harapan bisa bertemu suaminya demi kebahagiaan anak-anaknya.
                “Dia tidak jauh dari sini !” bisiknya lirih
Dia kembali menyelipkan foto lusuh itu ke tempat semula. Dadanya memberat. Dia duduk di tepi tempat tidurnya.
                “Guinggggg…nguinggggg…. nguingggggg!”
Suara sirine membuyarkan lamunan Martini.  Suara riuh mulai terdengar. Martini berlari,  jantungnya berdegup kencang.
                “Kebakaraaaaan  !” teriak tetangga sebelah rumahnya
                “Pasar pagi kebakaran !”
                “Pasar pagi kebakaran !”
Satu  jam kemudian api berhasil dipadamkan. Beberapa lapak ludes terbakar, sementara lapak yang lain terbakar sebagian. Tidak ada korban tewas tetapi beberapa mengalami luka ringan. Martini mematung memandangi sisa –sisa kebakaran.
                “Tuhan, inikah jawabanmu? “bisiknya lirih
                “Martiniiiiii !” panggil pedagang jengkol
 “mobil pick up mu ada?” tanya pedagang kelapa yang paling sering menggodanya
Martini mengangguk cepat sambil bergegas menghampiri  mereka  berdua yang sedang menggotong seseorang yang sedang terluka parah.
                “Suamiku !” ucap Martini lirih, matanyanya berkaca-kaca.



#NulisRandom2017
#harike30
#hariterakhir
                               
               

Perdagangan Ideologi



Sebagaimana perdagangan barang-barang, pada dasarnya di dunia ini banyak pelaku perdagangan non materi alias faham, aliran atau sebut saja ideologi .  Ada yang  yang menjajakan  kebebasan, ada yang berkata bahwa harta itu bisa membuat wibawa jadi harus di kejar sampai ke ujung dunia, ada yang  mengatakan hidup hanya sekali, ayo bersenang-senang, ada yang mengajak pada kebenaran  pada kitab suci, ada yang promosi pentingnya komunal, ada yang mengagungkan cinta ....wah banyak lah pokoknya. 

Apakah dalam perdagangan ideologi ini ada  agen dan marketing ? Woo...ya jelas ada. Masing-masing punya marketing yang handal dengan product knowledege yang top markotop.
So, what?  Kalau sudah begitu ngapain? 

Mana yang kita minati itulah yang akan membentuk ikatan (aqoid, aqidah) kita dan pada akhirnya membentuk pula  mindset dan roadmap dalam kehidupan kita.
Lalu, apa yang bisa menyebabkan manusia mempunyai ikatan, mindset dan roadmap  yang berbeda-beda?
Banyak faktor. Salah satunya yang paling berpengaruh adalah seberapa sering kita dicekokin, di blesekkan, dicelupin, disuapain, diiming-imingin.
Nah...sekarang mari kita bertanya, “dagangan” apa yang  paling kita minati? Apakah kita sudah mengerti  keunggulan dan kekurangan dagangan yang kita minati? Atau jangan-jangan apa yang kita minati itu malah tidak  ada keunggulannya sama sekali? Apakah perlu kita menjadi “pemain” perdagangan? Dan seiring pasar bebas barang-barang,, pasar bebas ideologi pun berkembang.

Napoleon  berkata: 

The world suffer a lot. Not becouse of the violence of bad people but becouse of the silence of good people

Tuh kan,  Napoleon aja bilang, orang baek- baek  yang cuma diem-diem aja yang bikin kejahatan kian merajalela di dunia ini, bukan karena kejahatan orang-orang yang jahat semata.(Eh tapi ingat ya baik tu belum tentu benar)
Pastinya nih ya, kalau Napoleon bilang gitu,  berarti Pak Napol ini termasuk orang yang ga diem aja kan? yang juga berdagang pemahaman , yang ingin melakukan sesuatu untuk memperbaiki dunia kan? ...(ehh tapi apa sih dagangan Napoleon? )

Hem..itu baru kata Napoleon loh, bagaimana dengan kata orang-orang hebat yang lain lagi? Ya sammmmaaa, cuma beda bahasanya saja.  (tapi ati-ati yaa omongan orang hebat belum tentu bener juga, apalagi cuma yang nulis ini heeee)

Yang saya ketahui sih, di di dunia ini kita di tuntut berdagang non materi kok , kita dituntut menjadi pelaku ,penebar dagangan yang halal dan baik.  Apalagi bila kita yakin dagangan kita adalah dagangan yang baik dan bermutu.  Yahhh sebagaimana kita dagang barang yang berkualitas jangan kaget juga kalau dagangan yang baik dan halal itu “di tembak”, di jatuhkan di fitnah  biar ga laku  dsb...itu sudah resiko bro. 

So, keep the fighting spirit not  spirit for fighting 


#NulisRandom2017
#harike29

Kamis, 22 Juni 2017

Konspirasi Yang Indah ( Tamat)



Orang di hadapan Wulan berjalan mendekati Wulan. Seperti tak kuasa menahan diri lagi, dia segera menarik tangan Wulan dan mengajaknya menjauh dari keramaian stand itu. Wulan tidak bisa meronta, perasaan indah yang tak segera hilang justru semakin indah, apalagi ketika lelaki itu melingkarkan tangannya di pinggang Wulan. Mereka terus berjalan menuju pintu keluar gedung dengan langkah cepat. Akhirnya mereka duduk tak berjarak di bawah pohon rindang.
Faisal menggenggam tangan Wulan sangat erat sambil sesekali menatap wajah Wulan sambil tersenyum. Segenggam bara curiga, segores luka, seantero ego, sebongkah resah dan gelisah seolah lenyap dari dada mereka. Kalbu mereka benar-benar telah bening sehingga mampu bertutur dengan bahasa yang bernas, segalanya seolah menjadi jelas, tanpa mereka harus menjelaskan satu sama lain perihal masalah mereka kemarin.

        “ Bang sudahlah, ini kan di tempat umum!” bisik Wulan 

        “Biarin aja, kamu kan istriku, syah !” 

Wulan tertawa kecil sambil menutup mulutnya.  

        “Jangan di tutup .” kata Faisal sambil menurunkan tangan Wulan “Lama aku nggak lihat lesung pipimu .” imbuhnya. Wulan hanya bisa tertawa kecil sambil tersipu-sipu. 

         " Bang, emm...tadi aku datang ke mari sama Mama dan Papa ,tapi kita sempat terpisah !" jelas Wulan, Faisal tertegun.
     
       “Selama ini Papa dan mama tidak pernah mengizinkan aku  pergi jauh sendirian, Bang. Alasan mereka, kondisi emosiku sedang tidak stabil dan untuk menjaga dari fitnah. Aku sempat merasa geli, aku kan sudah dewasa. Tapi, aku menurut saja, orangtua lebih berpengalaman “

Faisal mengangguk-angguk. Perasaannya sangat bahagia, dia memiliki mertua yang luar biasa bijaksana.
 
“ Merekalah orang yang paling bertanggung jawab menjagaku, menghiburku selama kita, emm.... ”  jelas Wulan sambil menyurut air matanya tak sanggup melanjutkan ucapannya.

Spontan Faisal mendaratkan kecupan di kening Wulan “ Abang minta maaf ya, Sayang . “  bisik Faisal lembut.

"Wulan juga minta maaf Bang !" kata Wulan dengan suara pecah menahan tangis.

Faisal tak mampu berkata-kata lagi selain mengerjap-ngerjapkan matanya yang mulai berkaca-kaca sambil menengadah ke langit, mengucapkan mohon ampunan dan terimakasih yang amat dalam. 

        “Tadi mereka mengingatkan sudah ada IBF lagi dan mengajak aku ke sini. Mereka orangtua yang luar biasa dimataku Bang.” Kata Wulan sambil tersenyum manja.

Faisal mengangguk-angguk sambil tersenyum “Emm, sebenarnya aku juga datang sama Bunda dan Ayah Lan, tadi mereka minta diantar. “ 

        “Oh ya? lalu kemana Bunda dan Ayah?”

        “Mereka bilang mau cari minum dan aku di suruh menunggu di stand tadi , tapi mereka tidak datang-datang juga. Aku menelpon tapi tidak diangkat sampai akhirnya malah kita bertemu  ” jelas Faisal sambil tertawa kecil, diikuti tawa geli Wulan.

        “Yuk kita cari Bang !” ajak Wulan sambil meraih lengan Faisal. 

Faisal menjatuhkan pandangannya ke tangan Wulan sambil tersenyum. Kemudian menatap Wulan sambil mengerlingkan matanya. Mereka tertawa lepas. Dengan langkah cepat mereka kembali masuk ke gedung Istora Senayan dan langsung menuju ke cafetaria.
Mereka mendapati dua pasang orangtua mereka duduk di tempat  paling ujung, sedang berbincang sambil tertawa-tawa. Karena cafetaria tidak terlampau luas, mereka segera tertangkap oleh pandangan Pak Marzuki. Beliau langsung melambaikan tangannya dan memberi isyarat agar mereka segera  ke meja mereka. Wulan dan Faisal saling memandang dengan bersit tanda tanya. Mereka pun bergegas mendekati orangtua mereka.

        “Ehmmm....serasa ada pengantin baru nih suasananya.!” celetuk Pak Marzuki memecah suasana haru. “Kok kalian bisa bertemu di sini, kencan yaaa? ” lanjut Pak Marzuki dengan nada meledek ala anak muda. 

Tawa mereka berderai, Wulan dan Faisal kembali tersipu malu. Benar-benar seperti ABG yang sedang dilanda cinta pertama.  

        “Emm, maaf nih, Wulan malah penasaran juga, kok semua bisa bertemu disini ?” tanya Wulan sambil masih menahan rasa malu.

        “Bisa dong, dunia kan cuma selebar daun kelor, “ gurau Pak Pras. “ Eh...kalian mau makan atau nggak nih? kalau enggak, cepetan kalian pulang saja nanti Papa bisa pulang bareng Pak Marzuki, kebetulan kita masih perlu bicara soal bisnis.” kata Pak Pras, cepat-cepat membelokkan tema pembicaraan.

        “Ih, Papa kok gitu sih.” protes Wulan. 

Pak Pras hanya tersenyum kemudian memandang ke arah Pak Marzuki yang tertawa lebar. Sementara Bu Hesti dan Bu Syahriza tersenyum-senyum simpul.

        “Eh...ngomong-ngomong kalian tadi bertemu dimana ?” tanya Bu Syahriza.

        “Isal mau tanya dulu, Bunda dan Ayah tadi kemana kok di telpon tidak diangkat-angkat?” 

        “Oh, hehee...lagi makan kali Sal, Hp Bunda di tas, jadi nggak denger , maafin Bunda ya Sal !”

        “ Hp Ayah, mati Sal ” imbuh Pak Marzuki sambil menunjukkan Hpnya, sebelum Faisal protes ke ayahnya juga.

Faisal hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Masih ada tanda tanya di kepalanya tetapi dia merasa tidak perlu menanyakannya saat itu juga.

Rindu mereka sudah meletup-letup dan itu tak bisa tertutup dari pandangan orangtua mereka yang sudah makan asam garam kehidupan berumah tangga lebih dari cukup.  Pak Pras kembali mengatakan pada Wulan dan Faisal  bahwa dia akan pulang bersama besannya, karena masih ada urusan bisnis. Semula mereka sempat ragu dan malu tetapi Bu Syahriza, Bu Hesti dan Pak Marzuki  mendukung nasehat Pak Pras.
Tak lama kemudian Faisal dan Wulan pun berpamitan dengan sedikit sikap malu-malu yang lucu. Setelah putra putri mereka menghilang dari pandangan , tawa dua pasang orangtua mereka kembali meledak.

        “Ternyata kita semua bakat jadi sutradara film ya.”  kata Pak Marzuki

        “Sutradara sandiwara Pak, bukan film.” protes Bu Hesti 

        Tawa mereka kembali berderai. Selama berhari-hari, siang malam mereka berdiskusi, berkonspirasi agar anak-anak mereka berdamai. Dan rencana terakhir mereka adalah mengatur pertemuan Wulan dan Faisal di IBF. Betapa serunya, bagaimana Bu Hesti tiba-tiba menghilang sebentar untuk memberitahu Bu Syahriza, dimana posisi mereka. Kemudian Bu Hesti mencari cara agar Wulan tetap berada di stand itu sampai Faisal datang. Kemudian ayah dan Ibu Faisal mencari alasan akan mencari minuman dan meminta Faisal agar mencarikan buku seputar pendidikan psikologi anak .

Mereka saling mengungkapkap rasa syukur bahwa anak-anak mereka bertumbuh menjadi pribadi yang cerdas dan sabar. Mampu menggiring orangtua sampai pada sebuah pemahaman akan sebuah arti silaturahim yang sesungguhnya. Yaitu saling berbagi perhatian, kasih sayang, ilmu, pengalaman, informasi, bahkan berbagi duka maupun suka yang kesemuanya bermuara pada ketundukan hati pada sang Rabb. Lewat anak-anak merekalah, mereka justru menjadi faham bahwa manusia  memegang amanah penting di muka bumi ini. Bukan sekedar bermuara pada kesusksesan bisnis mereka. Mereka meyadari, selama ini mereka mengartikan silaturahim hanya sebatas saling mengunjungi dan memberi buah tangan, itupun kadang hanya karena alasan “tidak enak”. Oleh karena itulah, ketika anak-anak mereka sedang khilaf akan makna silaturahim, sekuat tenaga mereka berjuang mendamaikan. Walau harus membuat sebuah konspirasi, ya..sebuah  konspirasi yang indah. 

Sementara itu di area parkir, mobil yang di tumpangi Faisal dan Wulan tak juga meluncur, mereka justru saling melemparkan tanda tanya yang bersarang di kepala masing-masing seputar pertemuan mereka.  Akhirnya mereka terkekeh-kekeh dan menyadari satu hal, bahwa pertemuan mereka bukanlah pertemuan yang alamiah, tetapi ada sebuah konspirasi besar. Ya, konspirasi yang mulia. Rasa syukur mengembang di hati mereka, betapa mereka mendapat rizki luar biasa, memiliki orangtua yang bijaksana dan cerdas. Keluarga adalah lembaga terkecil yang layak mereka jaga kualitasnya, agar tetap tercelup dengan kalam ilahi dan agar menjadi sumbangsih bagi agama dan bangsa.  

Selesai 

#NulisRandom2017
#harike23

Konspirasi Yang Indah ( 3 )


        “Bagaimana jika kita mencoba menemui menantu kita masing-masing?” kata Pak Marzuki seketika nampaknya pemikiran itu sudah bersarang sejak tadi dalam benaknya.

        “ Misinya?” tanya Bu Syahriza

        Misinya perdamaian tanpa menggurui melainkan memberi teladan!” jelas Pak Marzuki. 

        “Setuju Pak, perbuatan berbicara lebih lantang daripada kata-kata!” sahut Bu Hesti. “Saya ingin menjenguk Faisal, saya juga sudah kangen humor segarnya !” imbuhnya.

Mereka sepakat tentang misi itu dan telah mempersiapkan rencana satu, dua dan tiga bila memungkinkan. Dan rencana itu akan diluncurkan tergantung situasi yang mereka hadapi nanti saat bertemu menantu masing-masing. 

**
Pagi itu, mertua Wulan datang ke rumah orangtua Wulan. Bu Syahriza langsung memeluk Wulan kemudian mencium pipi dan jidat Wulan sebelum Wulan sempat mengulurkan tangan untuk bersalaman. Ketika Wulan mencium punggung tangan ayah mertuanya tangan kiri Pak Marzuki spontan mengelus kepala Wulan penuh kasih. Semua berjalan dengan sangat alamiah tanpa kepura-puraan.
        “Apa kabar Nak?” tanya Pak Marzuki sambil tersenyum menatap Wulan yang tak kuasa menahan air matanya.
        “Mana cucuku?” tanya Bu Syahriza. 
Tak lama kemudian Bu Hesti muncul sambil menuntun Najwa, di susul Pak Prasetyo. Najwa langsung menghambur ke pelukan neneknya yang sering mendongeng untuknya tentang burung hantu kecil yang lucu dan cerdas. Matanya bulat dan lebar seperti Najwa.
        “Coba  tebak, apa ini?” tanya Pak Marzuki, Najwa bergegas megambil bungkusan kecil dari tangan Pak Marzuki. “Eit, tidak bisa....sayang kakek dulu!”
Najwa segera mendaratkan ciuman di pipi kakeknya dan meraih bungkusan itu. Boneka burung hantu kecil dan kue. Najwa kegirangan sekarang menghambur ke pelukan ibunya, memamerkan bonekanya.
        Ibu nangis?” tanya Najwa dengan polosnya sambil memegang-megang mata Wulan.
        Wahh lucu yaaa burung hantunya!” selimur Wulan sambil mengelus kepala putrinya. “Sebentar ya, Ummi mau membuat minuman untuk Kakek dan Nenek!” 
Wulan tergugu di dapur. Tangannya tak juga mengambil cangkir di hadapannya. Dia sangat terharu, tak terpancar kemarahan dan kebencian segaris pun di wajah mertuanya. Justru Wulan merasakan kasih sayang yang seolah ditumpahkan dari hati. Rasa malu dan bersalah yang sangat atas prilakunya selama ini sedang menyerangnya dengan hebat. Berkali-kali dia menghapus air matanya tetapi masih saja mengalir.

        “Lan, mertuamu minta air putih !” kata Bu Hesti tiba-tiba dari belakang punggung Wulan. “Sudah Lan, kamu jangan menangis seperti itu. Kurang bagus buat psikis Najwa.

Wulan mengangguk, menghapus air matanya kemudian menarik nafas dalam. Dia bisa menghentikan air matanya tetapi tidak bisa menyembunyikan mata sembabnya ketika harus menyuguhkan minuman. Tetapi seolah dia sudah tidak peduli lagi. Mereka semua orangtua yang sangat di sayanginya.  Dia hanya perlu mempersiapkan jawaban cerdas untuk pertanyaan Najwa. Entah satu, tiga atau tujuh menit lagi bahkan bisa jadi besok dia masih menanyakan.

        “Bagaimana bisnis tanaman hias mu Lan?” tanya Bu Syahriza. 

        “Alhamdulillah lancar Bunda, kemarin ada yang memesan beberapa jenis bunga, katanya untuk hari Ahad yang akan datang bahkan kami sempat kekurangan, untung saja masih ada waktu untuk mencarikan kekurangannya ! ”

        “Alhamdulillah, untuk acara apa rupanya pakai bunga banyak-banyak ?” tanya Pak Marzuki.

        “Saya kurang mengerti Yah, Kemungkinan...emm, untuk keperluan dekorasi pernikahan!” jawab Wulan. Tiba-tiba wajahnya sendu. Bu Syahriza melirik ekpresi wajah Wulan kemudian menarik nafas perlahan.

        “Terus bagaimana Lan?” tanya Pak Marzuki

        Yaa...sedang mencari kekurangannyanya, Yah .”

        “Perlu bantuan Ayah, Lan? Nanti Ayah bantu mencari ke bukit berbunga hehee...” gurau Pak Marzuki. 

Tawa mereka berderai. Suasana sangat  hangat, seperti tidak terjadi apa-apa antara Wulan dan Faisal. Seperti tidak ada sebuah misi mulia antar besan yang sedang di jalankan. Tiba-tiba Bu Syahriza nampak panik setelah membaca sms kemudian mohon pamit dengan alasan harus menemui seseorang sedang sakit. Pak Marzuki mengatakan, padahal dia masih merasa betah.

        “ridho atau tidak nih, mengantar istri ?” tanya Bu Syahriza.

        “He heee beramal ikhlas memang susah, kalau mudah surga tak lagi spesial dan neraka tak lagi mengerikan. Tapi, yang penting terus berusaha untuk ikhlas“ jawab Pak Marzuki sambil tersenyum dan bangkit dari duduknya. 

Spontan semua seperti tertegun dengan kalimat elok itu. Terutama Wulan, matanya kembali berkaca-kaca. Keikhlasan , sebuah kata yang tiba-tiba menghujam hatinya. Membuatnya bertanya pada dirinya sendiri, sudahkah dia ikhlas menerima segala kejadian baik ataupun buruk yang hadir di hadapannya? 

**
        Ibu tadi tiba-tiba pamit, itu di luar skenario kan?” tanya Bu Hesti setengah berbisik melalui telepon rumah. 

        “Iya, di luar scenario, Faisal terkilir kakinya!” jawab Bu Syahriza 

“Ohhhh...begitu, sekarang bagaimana kondisi Faisal?”

       “Sudah di urut tetapi masih kesulitan berjalan makanya tadi  terpaksa dia memberi kabar saya.”

        “Ohhh begitu, Ya Allah, kasihaaan menantuku .” kata Bu Hesti. Beberapa menit kemudian Bu Hesti menutup telepon

        “Siapa yang kasihan, Ma?” tanya Wulan tiba-tiba dari belakang punggung ibunya.Telinganya menangkap kata menantu.

Bu Hesti mematung karena terkejut dan bingung. Wulan kembali bertanya, ingin memastikan bahwa yang di dengarnya tadi tidak salah.

        “ Sudahlah Lan, kamu kan sudah tidak peduli dengan Faisal !” jawab Bu Hesti singkat sambil berlalu menuju kamarnya. 

Wulan hanya melongo, mengikuti langkah Ibunya dengan tatapan  matanya. Ketika pintu kamar tertutup, Wulan terhenyak. Sementara itu di balik pintu Bu Hesti sedang bersandar sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan. Sebenarnya dia ingin menjelaskan pada Wulan tentang apa yang sebenarnya terjadi, Faisal terpeleset di tangga, kakinya terkilir cukup parah. Tetapi Bu Hesti merasa takut salah karena Faisal melarang saat Ibunya berniat memberi kabar pada Wulan bahwa dirinya sedang sakit. Sebenarnya Bu Hesti juga tidak berniat mengatakan seperti apa yang di ucapkannya tadi. Entah mengapa seperti meluncur begitu saja,di luar kendalinya. Akhirnya yang ada permohonan agar kalimat itu bisa membawa kebaikan.
Sore itu langit terkurung mendung. Seolah mendukung perasaan gelisah yang sedang mengepung Wulan. Sudah tidak peduli dengan Faisal, ucapan itu membuatnya bertanya-tanya apakah benar dia tidak peduli lagi dengan suaminya, bila saat ini dia sedang penasaran dengan apa yang terjadi dengan suaminya. Tiba-tiba dia juga teringat satu hal. Biasanya, saat cuaca mendung Faisal memintanya membuat the hangat kemudian mengajaknya duduk di teras. Faisal menyebutnya upacara menunggu hujan. Wulan tersenyum mengingat hal itu. Kerinduan pada suaminya datang kemudian kembali merasa gelisah, bertanya-tanya lagi apa yang sedang terjadi pada suaminya. Tetapi dia tak juga mengangkat telepon untuk menghubungi suaminya. Tidak pula berani bertanya lagi pada ibunya. Bila Faisal pernah di hadang rasa cemburu, sekarang Wulan sedang di hadang rasa gengsi. Apakah dia takut menyungkurkan rasa itu atau egonya yang menariknya agar mundur? 
Pak Prasetyo mendekati Wulan yang sedang termenung sendiri di ruang tamu. Tetapi berlagak tidak mengerti dengan apa yang sedang di rasakan anaknya. Pak Pras membaca koran tetapi sebenarnya dia menunggu Wulan untuk berbicara. Ya berbicara  tentang harapannya, tentang niatnya tentang isi hatinya. Kemarin-kemarin dia terlalu banyak bertanya dan tampaknya itu bukan tindakan  yang tepat setidaknya demikian hasil “rapat antar besan” beberapa waktu yang lalu. Sebenarnya Pak Pras mulai ragu, jangan-jangan saat ini adadalh saat yang tepat untuk bertanya.

        “Pa....!” panggil Wulan tiba-tiba 

        “Ya...!”  jawab Pak Pras sambil menurunkan korannya sedikit, memandang Wulan. Tetapi Wulan malah menunduk.

Pak Pras meletakkan korannya “Ada apa Lan?”

        “ Ah nggak Pa, nggak jadi.”

        “ O, tidak bisa !” gurau Pak Pras, Wulan tertawa kecil.”Mau ngomomg apa Lan?”

Akhirnya Wulan berani bertanya tentang kabar Faisal.. Pak Pras memberi jawaban singkat bahwa kaki Faisal terkilir. Begitu saja, karena demikian skenario yang segera mereka buat sejak Wulan tanpa sengaja mendengar ucapan ibunya di telpon.
        “ Emm....tapi bagaimana kondisinya Pa?” tanya wulan setelah diam cukup lama.
        “Kabarnya lumayan parah, tidak bisa jalan.” jawab Pak Pras santai sambil megambil koran yang tadi di lipatnya. Sesekali melirik ekspresi wajah Wulan yang kaget dan kemudian berubah murung.

Telephone rumah berdering, Pak Pras bangkit dari duduknya sementara Wulan hanya memandang ayahnya dengan wajah bergambar kecemasan. Pak Pras menerima telepon dari kawannya,  tertawa-tawa, Wulan merasa lega, bukan berita buruk tentang suaminya pikirnya. Dia berjalan mondar mandir dari ruang tamu ke ruang tengah kembali lagi ke ruang tamu. Pak Pras menangkap kecemasan anaknya tetapi dia bertahan diam, sekali lagi memang demikian skenarionya. Bukan tega membiarkan anaknya dalam kecemasan tetapi memang sengaja membuat anaknya berani mengambil langkah yang pasti atas kesadaran sendiri. Dia mahasiswi managemen dan sudah teruji keberhasilannya membantu mengurus usaha penginapan keluarganya bahkan mengelola usahanya sendiri. Sekarang saatnya dia belajar menata emosinya dalam mengatasi masalah rumah tangganya. Selama ini Pak Pras banyak memberi masukan tetapi belum tampak titik terang. Padahal kalau dicermati masalahnya tidak terlampau berat. Di cemburui pasangan  terkadang kan malah menyenangkan, tandanya dia cinta dan takut kehilangan kita, kata Pak Pras waktu itu. Tetapi di satu sisi Pak Pras juga memaklumi  perasaan Wulan yang merasa terhina. Ya, memang anaknya tipe istri setia dan bisa menjaga diri.
Tentu saja tuduhan Faisal membuatnya terluka. Apalagi setelah pertengkaran mereka terjadi, istri Hasto ternyata sempat mengirim pesan padanya agar tidak bermain api. Rasa kesal kian meraja di hati Wulan, sekarang dia mengerti mengapa Faisal bersikap aneh padanya. Wulan mulai merasa bersalah atas tuduhannya pada Faisal tetapi masih ada satu hal yang masih mengganjal pikirannya, tentang anak Bu Helena. Wulan tak mengunggkapkan kerisauannya pada siapapun, dia menelannya sendiri. Pesan dari istri Hasto tidak pernah di tanggapinya walau sisi lain dari dirinya membujuknya memarahi istri Hasto, agar tidak sembarangan berbicara. Kalau toh tidak begitu, sebenarnya bisa saja dia mengadukan tuduhan istri Hasto pada Hasto.  Tetapi Wulan khawatir masalah rumah tangganya menjadi makin rumit ketika dia membuka akses komunikasi dengan Hasto. Alasannya karena sebenarnya Wulan sempat menangkap sorot mata Hasto yang menurutnya agak aneh, Wulan merasakan Hasto masih menyukainya. Wulan mengakui ketajaman Faisal dalam mendeteksi bahasa tubuh Hasto saat itu, saat mereka bertemu tanpa sengaja di penginapan orangtua Wulan. Bahasa tubuh Hasto  yang menunjukkan rasa suka yang masih tersisa pada Wulan. Namun Hasto adalah pria yang cukup sopan dan bisa mengendalikan dirinya.
Jam dinding berdentang sepuluh kali. Pak Pras mengingatkan istrinya harus menghubungi Bu Syahriza yang malam ini menginap di rumah Faisal.
Informasi yang di dapat dari Bu Syahriza, sejak tadi siang hingga pukul sepuluh malam Wulan belum menghubungi Faisal maupun menelpon rumahnya. Keras kepala atau keras hati atau belum mampu menyungkurkan gengsi? Ternyata Wulan masih merasa gengsi walau kerinduannya pada Faisal meletup-letup dan rasa khawatir terus terukir di pikir sejak mendengar kabar Faisal terkilir. Sementara Faisal masih belum bersedia bila Wulan di beritahu tentang kondisinya

**
        Mengisi harinya yang kian sepi, Wulan menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan seminar, mendatangi pameran tanaman dan kegiatan rutinnya, mengikuti kajian keagamaan beberapa kali dalam seminggu dan melaksanakan program-program yang telah mereka rancang. Namun kesepian masih meraja di jiwanya. Apalah artinya ilmu setinggi angkasa bila dia tidak mengamalkannya, bila ego masih menjadi sesuatu yang besar sementara dalam sehari entah berapa kali dia mengucap Allahuakbar. Apalagi tema kajian tadi adalah silaturahim, yang maknanya demikian dalam. Menyambungkan yang terputus. Dan orang yang lebih dulu berusaha menyambung silaturahim akan mendapat pahala yang besar.Demikian bisik hatinya sepulang mengikuti kajian pagi itu. Lima menit kemudian dia membalikkan arah mobilnya menuju rumahnya.
Tiga kali dia menekan bel rumahnya namun tidak ada tanda-tanda pintu terbuka. Tak putus asa, dia mencoba menghubungi telepon rumahnya hingga tiga kali tetapi nihil, tidak ada yang mengangkat. Demikian juga ketika dia menghubungi Hp suaminya, nihil.sedang tidak aktif,

        “Ya Rabbi, kuatkan hatiku agar tidak berbalik pada kebodohan lagi!” bisik Wulan sambil menyurut air matanya sambil menuju mobilnya.

Dua puluh menit kemudian Wulan sudah berada di toko bunganya “Zahra Garden” sebuah toko bunga  hidup yang lebih mirip dengan kebun. Ada beberapa pohon besar dan rindang, ayunan, dan gazebo. Bahkan di tempat itu juga ada tempat pembibitan tanaman. Walau bukan sarjana pertanian, Wulan memang memiliki minat yang tinggi terhadap tanaman hias, alhasil hobinya itu bisa menghasilkan uang.
Wulan berjalan-jalan sambil mengamati dagangan sekaligus kesenangannya itu. Tetapi kali ini pikirannya tidak sedang fokus pada tanamannya melainkan pada suaminya dan seonggok hatinya yang benar-benar sedang lara. Dia ingin menyembuhkannya dengan kata maaf dan berharap di maafkan. Memelihara ego ternyata membuatnya kian sakit jiwa, tak bermakna apa-apa tak pula berpahala, pikirnya sambil mengamati tunas-tunas muda tanaman sansivera. Saat memandangi tunas tanaman itu, tiba-tibadia berpikir,  sansivera adalah tanaman yang bisa mengikat radikal bebas dan polusi. Kabarnya di sekitar pembangkit nuklir AS, ada ratusan hektar lahan sansivera. Wulan menghembuskan nafas, radikal bebas...ya dia merasa jiwanya terlampau banyak radikal bebas yang bisa membuat kanker hati. Marah, dendam, gengsi, suudhon, egois.
        “Ya Allah, terimakasih, kau maha pembimbing, kau arahkan mataku untuk melihat tunas sansivera itu. Astaghfirullah, laahaula wala quwwata illa billah...tolong aku ya Allah !” ucapnya lirih tetapi sangat dalam.
Dengan langkah agak gontai Wulan berjalan menuju kursi panjang di bawah pohon rambutan. Lima menit kemudian Hp nya berbunyi. Ibunya mengajaknya ke Islamic Book Fair di Istora Senayan. Ajakan yang cukup menyenangkan, Wulan baru sadar, bahwa Islamic Book Fair sudah datang lagi. Dia menarik nafas dalam, teringat, tahun lalu dia mengunjungi IBF bersama Faisal, berdua saja karena Najwa memilih ikut neneknya. Mereka benar-benar menikmati waktu berdua yang istimewa. Sekarang, kondisinya sudah berbeda. Wulan menarik nafas dalam,perih.

**
        Sudah dua puluh menit mereka berjalan berkeliling dari stand ke stand. Ketika mereka akan meninggalkan sebuah stand buku lama, tiba-tiba Bu Hesti tidak nampak. Wulan nampak mencari-cari ibunya tetapi Pak Pras tenang saja sambil meyakinkan Wulan bahwa ibunya tidak berada jauh-jauh dari mereka. Benar saja, tiba-tiba Bu Hesti sudah muncul lagi dari arah mushola. Wulan sedikit protes, Bu Hesti hanya tersenyum dan meminta maaf kemudian segera mengalihkan pembicaraan seraya mengajak mereka ke sebuah stand salah satu penerbit terbesar di Indonesia.  Tidak banyak kata, Pak Pras segera berjalan ke arah yang ditunjuk Bu Hesti.   

        “ Lan,si Gita tadi minta di carikan islamic chicken soup parenting, tolong kamu yang mencarikan  ya. Kamu kan lebih faham, Mama mau lihat-lihat buku ini dulu, untuk keperluan penginapan kita Lan, biasa...soal tata ruang, dekorasi hehe !”

Wulan pun berjalan dari rak ke rak sampai akhirnya menemukan jajaran buku islamic parenting. Wulan mulai bingung memilih yang mana, semua menarik, semua bagus, semua penting tetapi Gita hanya minta dibelikan satu saja dan katanya terserah Wulan. Tangan kanan dan kiri Wulan memegang buku yang berbeda, menimbang-nimbang memilih yang mana. Akhirnya dia meletakkan dua buku itu ke tempatnya dan mengambil telponnya, dia berniat menelpon Gita lebih dahulu untuk memberikan gambaran tentang buku tersebut. Baru saja meletakkan telepon di telinganya..... 

Tiba-tiba mata Wulan terbelalak, dia segera menurunkan telepon. Matanya terkunci pada mata itu, degup jantungnya berdetak lebih kencang. Ada perasaan indah yang membuatnya salah tingkah tak karuan. Demikian juga orang yang berada sekitar tiga meter di hadapannya, tampak kaget dan salah tingkah, Namun kemudian masing-masing mengulum senyum sambil mengalihkan pandangan.

Bersambung...




#NulisRandom2017
#harike21 

Senyum Sang Guru

Sejak saat itu, ambisinya untuk membuat karya indah kian meruang. Namun, seolah sang ide bergegas pergi, mood meleleh.   Tumpukan buku, ...