Beberapa hari ini mesin cuci bermasalah. Aliran air tidak bisa deras, sehingga detergen
tidak bisa “terguyur” masuk ke dalam tabung.
Terpaksa saya membuka laci detergen
dan menuangkan air dari sana,padahal tindakan seperti itu “dilarang”. Saya pun memutuskan
menggunakan sabun mesin cuci cair, agar sabun
lebih mudah mengalir ke tabung. Efeknya, anggaran belanja untuk membeli
detergen pun meningkat karena detergen cair itu lebih mahal . Neraca
perekonomian rumah tangga sedikit terganggu, lebay… ( Eh tapi jangan salah, ini
sebenarnya miniature masalah ekonomi negara hihii)
Timbul pula masalah lain, mesin cuci mengalami “kekacauan”
program. Setiap kali saya sudah memrogram
“quick wash” dengan suhu cold dan kecepatan 400 rpm, belum genap lima menit
berputar, tit tut tit tut suhu berubah menjadi 400 mesin berhenti berputar, lampu indicator pada kecepatan 400 rpm pun
mati. Awalnya kejadian semacam itu hanya
sekali. Tetapi akhir-akhir ini, terjadi beberapa kali setiap kali mencuci. Beberapa
kali pula saya harus berlari mendatangi mesin cuci untuk membetulkan tombol
seperti program semula. Alhamdulillah, mesin kembali berputar hingga
selesai dan berbunyi tit tut tit tut dengan nada yang berbeda, berartin pintu
mesin cuci siap dibuka.
Kondisi demikian ini tidak terlalu menjadi semak
pikiran ketika terjadi hanya sekali dan
saat saya sedang berada di pojokan
dapur. Karena jaraknya lebih dekat dengan mesin cuci . Tetapi
jika saya sedang berada di pojokan “dapur ide ” , itu yang menjadi masalah. Harus
switch dan switch dari “hal abstrak” ke
“nyata” bukan perkara sepela bagi ketrampilan kerja otak saya. Sadar diri,
tidak memiliki otak yang brilian. Supaya
tak menjadi gulma dalam danau perenungan yang saya harapkan jernih, sekalian
saja saya menarik kondisi terkini si mesin dalam pojok perenungan saya dan saya
“masak” habis-habisan. Tau rasa lu
haha. Nah, beginilah jadinya, semula akan
menulis tentang literasi berubah menulis
tentang mesin cuci. Inilah masakan itu, semoga bisa dinikmati….
Mesin itu “tit tut tit tut” memberi alarm bahwa dia
sedang bermasalah, bila dia “membisu” bisa-bisa cucian setumpuk tak terproses
sama sekali dan saya hanya bisa melongo saat dua jam kemudian mendatanginya. Saya
juga berpikir, mungkin kondisi ini agar
saya tetap bergerak dan peredaran darah saya lancar. Karena kalau sudah masuk “dapur ide” kadang mengkhawatirkan
:D. Akhirnya yang ada adalah Alhamdulillah ‘ala kulli hal, santai, damai,
tenang. Menikmati setiap langkah wara wiri tanpa gerutu dan kesal dalam
kesadaran memang sedang seperti ini yang harus saya hadapi. Mengada-ada?
Entahlah, pokoknya begitu. Saya juga
tidak mengerti apakah akan terus begitu ataukah
ini efek “conditioning” yang dalam teori otak katanya “conditioning” pengaruhnya hanya sementara,
tidak tahan lama. Terserah, yang penting
saat ini saya bisa “menerima” sambil menggeggam erat sepotong do’a : ” ya
muqollibal qulub tsabit qolbi ‘ala dienik” . YaAllah yang maha
membolak-balikkan hati tetapkanlah hatiku atas dienmu ( Dien, bukan saja
berarti “agama”, artinya lebih luas dan mendalam.)
Lalu….ini adalah pemikiran yang muncul dari belahan
otak kanan. Tentunya lebih imaginative,
dramatis, filmis (halahhh) dan ngaco dikit ehh nggak sih InsyaAllah.
Saya membayangkan mesin itu adalah manusia terutama diri
saya sendiri. Suhu meningkat dan macet, betapa mengerikan. Apa yang sebenarnya
terjadi bila manusia dalam kondisi semacam itu. Dalam konteks penyakit fisik, peningkatan
suhu tubuh adalah sebuah gejala saja.
Penanda ada yang tidak beres dalam tubuh kita, mungkin ada semacam virus,
bakteri atau bahkan sel berbahaya yang
bercokol. Bila suhu di bawah 400,
tubuh sedang melawan bibit penyakit, bila sudah lebih dari itu tubuh sudah terinfekasi. Disinilah harus
“turun tangan” dengan lebih seksama. Mungkin kita perlu cek darah, bahkan
RMI atau rontgen ( naudzubillah min dzalik )
Kurang lebih, demikian juga dalam ranah batiniah. Saya
bayangkan “kenaikan suhu “ itu karena ada “sesuatu” dalam batin kita. Mungkin, bukan
tersebab kemarahan semata tetapi masalah yang begitu complicated, saling terkait, tarik menarik
atau bahkan dorong mendorong, (halahhh apa sih ni ..). Hemm.. masalah yang datang
kadang membuat kita merasa, seolah ruang hati tak cukup
menampungnya. Seolah kita tak jua mampu “membonsai” pohon duka. Padahal…
“Haiii..para abdiKu, Aku sudah menakar masalah ini
hingga sampai di hadapanmu, kemarilah, Aku bisa cemburu bila kau membesarkan
tangis dan kesedihanmu sementara dalam
setiap sholat kauucap AllahuAkbar!”
Ah, maaf lagi-lagi
itu hanya ilustrasi yang
ditampilkan belahan otak kanan.
Lalu?? Lalu kita
berusaha mencari obat tentunya. Bila mesin cuci yang rusak bisa kita utak atik
tombolnya, manusia pun juga bisa (memang manusia punya tombol? namanya
perumpamaan). Mana tombol yang harus sering diaktifkan, mana yang harus diaktifkan
nonstop, mana yang harus dinyalakan atau dimatikan pada sirkumstansi tertentu dsb. Mungkin
dalam upaya “membenahi” diri itulah, banyak yang memilih untuk menyendiri,merenung dalam kesenyapan malam. Mendiagnosa batiniah, mengakui sejujur-jujurnya perasaan kita di hadapan sang
Hakim tertinggi. Saya sedih ya Lathif, saya mulai putus asa ya Jabbar , saya tidak tahu harus bagaimana yaa Basith.
PadaNya, Ya , padaNya lebih dahulu bukan pada pasangan, kerabat atau sahabat apalagi sosmed :D.
Inilah bentuk “pengobatan” tahap awal, “aduan spontan”
. Bahkan bila digambarkan secara
dramatis dan tidak “mainastream”(mungkin) begini;…dua manusia dalam ikatan pernikahan
atau dalam ikatan orangtua dan anak sama-sama
terjaga di sepertiga malam terakhir, dengan
beban hati masing-masing mereka memilih “bermanja” dengan Rabb lebih dahulu sebelum saling mengurai
beban hati , diskusi,musyawarah mencari solusi. Ini bukanlah bentuk ignor pada hablumminannas.Bukan pula melupakan usaha
dhohir.
Bicara tentang bermanja dengan Rabb, kita manusia
dewasa InsyaAllah mempunyai pengetahuan dan kesadaran yang telah mengutuh bahwa bermanja bukanlah meminta Allah berlaku
sebagai “tukang sulap”. Bim salabim
masalah hilang dalam sekejap. Setuju
kan? Bermanja lebih pada kesadaran bahwa tempat curhat yang
aman dan nyaman adalah Dia, walau tanpa “laporan” pun sebenarnya Allah
mengetahui. Tetapi Allah sangat suka jika hambaaNya merengek padaNya (
dalam posisi sebagai hamba, bukan
pendikte).
Sebenarnya inilah hakekat
“ Innallaha laa yughoyyiru maa biqoumin khattaa yughoyyiru maa bi
anfusihim “, Allah tidak akan merubah
keadaan suatu kaum sebelum kaum itu merubah keadaan diri mereka sendiri. ( QS
ke 13 ayat 11)
Diri adalah manusia, manusia terdiri dari lahir dan batin,
sebenarnya ayat itu menitikberatkan pada kondisi batin atau jiwa yang berubah. Menempatkan logika,dzon, dsb jauh dibelakang . Mengedepankan Sang Maha segalanya.
Jadi jangan terjebak, perubahan diri bukan lah perubahan secara “fisik” semata
tetapi di dahului dengan perubahan batin. Who am I? Kita ini siapanya
Allah sih? Punya tugas,fungsi dan peran dimuka bumi nggak? Kita ini punya modal
apa kok kabarnya disebut sebagai khalifah di muka bumi? Kita punya kelemahan diri
apa aja? Kalau iya, ada terapinya nggak? Terus…Allah tu siapa? Nah, kalau punya pertanyaan begini, ya kenalan
dulu aja. Aneh ya, kenalan kok sama diri sendiri dan Allah hihii. Lagian apa
hubungannya gitu lhohh…cari obat saat “suhu
meninggi” dengan kenalan sama diri dan
Allah dulu, keburu parah lah . Begitukah? Nggak juga sih, malah itulah penjaga
agar tidak sampai lebih parah. Bahkan ada hal-hal lain yang perlu kita kenal
lebih mendalam, kalau bahasa kerennya kita harus ma’rifat terhadap beberapa hal penting . Yahhh, apa
lagi sihhh ?? wah lha ini, kalau saya tulis bisa 100 episode, segini dulu aja
deh…jika sakit berlanjut hubungi dokter, ehhh :D (alasan …)
Inilah usaha mengatasi “kenaikan suhu” pada manusia.
Soal kenaikan suhu pada mesin cuci, baiklah akan saya panggil tukang service
saja, yang penting saya service batiniah dulu :D
Hufft, semoga kalau ada yang browsing tentang mesin
cuci yang rusak tidak kaget mendapati tulisan ini :D
Bersambung ga ya? InsyaAllah bersambung ..