Senin, 07 Desember 2015

IGer Mom ,OMG ...

Pagi itu, setelah memotret saya buru-buru mengerjakan urusan dapur. Beberapa jam kemudian  baru sadar, baju suami tertinggal di bawah pohon mangga yang berada di halaman depan. Masih lengkap dengan pulpen dan bunga yang terselip di saku. Loh kok? Ya, kemeja itulah yang tadi saya potret untuk entry ke sebuah akun upload di instagram dengan tema tertentu.

"Kelupaan" semacam itu juga dialami seorang teman. Pisau ,cabe,bawang tertinggal di teras setelah memotret masakan. Untunglah suaminya sabar dan pengertian. Bukan marah malah membantu membereskan.

Sementara itu ada musibah yang menimpa seorang teman,  hpnya terjatuh dan terbentur batu hingga layarnya retak saat memotret sepatu. Hemm...motret sepatu di bebatuan demi mendapatkan spot foto dan background yang eksotik malah hpnya jatuh...alhasil diapun galau tiada tara. Hp dengan layar retak tentu mengganggu pandangan dan pemotretan.
Ada lagi seorang teman  bercerita,suaminya mengatakan bahwa teman saya itu kelakuanya aneh-aneh sejak hobi memotret. Suatu ketika "papan jabuk"nya dibuang suaminya. Dikira, papan itu adalah papan bekas yang tidak terpakai padahal itu bak harta karun baginya.

Selain keanehan itu, ada sebuah keanehan lagi yang dialami para IGer. Rata-rata mereka mendadak menjadi tukang rongsok dan pengumpul barang. Bagaimana tidak, Instagram ternyata meningkatkan derajat barang-barang jadul dan kurang bagus (baca jelek). Malah ada akun, special  menampung foto-foto barang karatan, barang lama dan antik (vintage,klasik,retro), Seru banget kan?

Saya termasuk IGer yang punya kecenderungan menyukai barang-barang jadul,klasik. Warna-warna tanah dan kusam. Sebenarnya kesenangan itu bukan "mendadak dangdut"  sejak ada IG,bukan pula karena "reaktif " mengikuti sesuatu yang lagi trend atau sekedar meniru. Kesenangan atau kecenderungan itu saya alami sejak muda (cieh muda,emang sekarang sudah tua?) . Hampir semua baju dan barang-barang yang saya miliki  berwarna gelap dan warna-warna tanah. Sampai-sampai saya mendapat teguran dari kakak saya. Beliau sebal melihat saya. Masih muda kok suka warna tua. Saya juga suka barang-barang kerajinan dari rotan, bambu,kayu,gerabah,rempah-rempah. Kakak saya yang satu lagi sampai heran,karena baginya barang-barang semacam itu membuatnya sedih,teringat masa lalu,mada perjuangan hahaa. Duh..padahal bagi saya itu eksotis sekali.
Suatu saat saya melihat teman yang kuliah di fak seni rupa membuat asesoris dari rempah-rempah. Wuihhh,saya tertarik minta ampun. Sampai-sampai akhirnya saya terlibat dalam bisnisnya itu. Katanya sense of art saya ok ,cieh ga taulah,padahal saya ga ngerasa....mungkin dalam bidang itu saja ya. Nah sejak ada IG kesenangan saya itu seolah kembali mendapat tempat,ajang yang yahud. Rempah,bunga kering,daun kering, gerabah,rotan,bambu,ranting, barang-barabg jadul bisa mejeng semua ...

Ada lagi keanehan yang saya alami,sekarang tiap pergi suka celingak celinguk mencari peresmian atau pembukaan toko kantor atau usaha baru. Mengapa? karena,biasanya akan ada ucapan dalam bentuk  rangkaian bunga. Dari pada jadi sampah,apa salahnya saya angkat derajatnya hihii. Dan...lumayan kan,dapat bunga gratis. Sampai kering pun tak masalah, tetap akan menarik untuk properti photo,apalagi aliran poto saya "belekesek".Maksudnya aliran
penyuka warna tanah dan kekunoan (bukan kekinian). Walau bukan berarti saya tidak pernah memotret sesuatu berwarna ceria lho ya...hehee.

Oya ...ada satu keseruan lagi bersama teman-teman di Instagram, yaitu bila kita  "buka kartu" soal BTS (behind the scene). Dibalik foto cantik kadang BTS nya mengerikan. Seperti yang saya alami sendiri,punya spot foto outdoor yang ok,yang jaraknya dekat dengan kotak sampah di depan rumah. Bahkan, saya pernah meletakkan properti foto saya di atas kotak sampah itu, demi akan memotret backlight, upsss...hihi. Tenang,  kotak sampah itu tinggi kok. Semacam kotak sampah permanen di sudut rumah gitu deh.  Kata teman saya yang fotonya sering grid, BTS tak masalah jorok dan slebor dikit, yang penting hasilnya cantik hihi.

Yahh itulah sepenggal kisah tentang pengalaman kami sebagai IGer Mom. Seru,lucu dan unik.

Jumat, 27 November 2015

Optimisme dan Kewaspadaan

Saat awan hitam tertelan malam,bukan berarti hilang kemungkinan turun badai.

Ini hanyalah gambaran tentang kewaspadaan yang perlu kita jaga.

Saat awan hitam tertelan malam,bukan berarti tak akan turun hujan

Ini  hanyalah gambaran tentang harapan,optimisme yang perlu kita jaga.

Waspada dan optimis....,kehati-hatian dan semangat adalah salah satu racikan untuk stamina jiwa .

Senin, 09 November 2015

Pahlawan Muda

1.Salman Al Farisi. Usia 17th menentang sistem sosial kufar (majuzi) demi kebenaran, dipenjara, lari menuju ke kebenaran (gereja, dst, hingga ke Madinah)

2.Imam Bukhori (ahli hadist). Usia 18th menerbitkan kitab pertamanya ttg hukum2 islam. (Ingat ya, menerbitkannya bukan menulisnya)

3.Usamah bin Zaid. Usia 19th mnjadi Panglima, memimpin ekspedisi nasional ekspansi Islam.

4.Sentot Prawirodirjo. Usia 18th mnjadi Panglima Pasukan Diponegoro (wilayah setara dg jawa tengah + jawa timur sekarang).

5.Imam Hambali. Sblm 20th hafal Al-Quran plus sejuta hadist.

6.Muhamad Al Fatih. Usia 20-22th menaklukan Constantinopel.

7.Ali Bin AbuThalib. Usia 22th mnjadi garda depan dlm menyelamatkan Pemimpin Tertinggi Islam (Rasulullah SAW)-mnjelang hijrah.

8.Bung Tomo. Usia 25th memimpin pasukan surabaya mlawan Kafirin Dunia (sekutu).

9.Ja'far bin Abithalib. Usia 26th mnjadi ketua/jubir dr delegasi nasional di Habsyina.

10.HOS Cokroaminoto. Usia 29th mnjadi pemimpin SDI-SI (nasional).

11.Jend.Sudirman. Usia 28th, menjadi komandan Batalyon

12.Sultan Hasanudin .Usia 28tahun menyatukan kerajaan2 di sekitar Gowa melawan kafirin dunua VOC

Lalu, bagaimana dengan ank-anak kita?

Kamis, 05 November 2015

Cerita di Kereta

Kabar tentang penertiban stasiun sudah lama kudengar. Namun,baru beberapa hari lalu,aku bena-benar mengamati perubahan itu. Berarti sudah cukup lama aku tidak naik kereta dalam  kota (KRL/COMMUTERLINE) maupun kereta luar kota.

Sistem pembelian tiket menggunakan kartu berjaminan dan sepi pedagang asongan di dalam stasiun....itulah dua hal yang paling saya rasakan. Dulu, bila tidak sempat membawa kopi atau makanan untuk sarapan,biasanya kami membeli fresh kopi di sebuah minimarket. Kemudian duduk santai sembari menunggu kereta sekaligus menunggu penjaja kue.Demikian juga saat pulang. Biasanya sudah tiba makan siang.  Gampang...banyak penjaja pecel,lontong,gorengan,tahu sumedang dan berbagai minuman.
Sekarang...mereka semua tidak ada. Yang masih ada dan bahkan makin banyak jumlahnya adalah resto-resto franchise dengan masakan "ala sono"..., bukan ga doyan, tapi mahal dan bukan selera kami.

Kemana pedagang pecel itu sekarang ? Di luar stasiun pun aku tidak menjumpai,apakah mereka alih profesi? atau mencari lahan baru?

Tergeser....itulah kata yang tepat,entah apapun usaha mereka sekarang. Resto modern lebih berkuasa...

Sayapun menghayal ..ada tempat khusus yang bagus,layak untuk pedagang pecel dan gorengan itu, ada satu ruangan lagi,khusus untuk pedagangan asongan nonfood.

"Silahkan duduk Bu!" kata seorang pemuda tanggung.

"Terimakasih ya Nak !" kataku sambil tersenyum. Lega rasanya.

Dia berjongkok disamping tempat dudukku,berpegangan tiang yang menyatu dengan tempat duduk. Dia mulai bertanya,aku hendak pergi kemana,tinggal di mana,berapa anakku...
Aku menjawab hendak ke Jatinegara dari Bekasi. Selebihnya,aku tak bisa banyak cerita. Tak terasa air mataku menelaga..
Kereta berhenti di stasiun Jatinegara,aku bergegas turun.Namun kulihat pemuda itu juga turun,padahal dia mengatakan akan ke Kota Tua. Dia memanggilku, berusaha menghampiriku,mencari jalan  diantara kerumunan penumpang .

"Bu,maafkan saya, mengapa tadi ibu tampak menangis? Karena pertanyaan saya ya Bu?" katanya sambil menggeggam tanganku dengan wajah sendu dan sesal.

Air mataku kembali meleleh. Akhirnya kami mencari tempat duduk di salah satu tempat makan, Aku menjelaskan semuanya.  Pemuda itu berkali kali meminta maaf padaku.

"Bu,jangan sedih..anggaplah aku pengganti anak ibu.." katanya.

Dia mengurungkan niatnya pergi ke Kota Tua,rela menemani wanita tua yang  sudah lama menjanda dan kehilangan putra tunggalnya.
Sepanjang jalan kami masih melanjutkan pembicaraan. Ternyata dia memiliki pemikiran yang sama denganku tentang penertiban stasiun.Yang lebih mengejutkan....ayahnya dulu adalah mahasiswaku saat aku masih menjadi dosen di fakultas Fisip di salah satu perguruan tinggi negri.

Dunia memang sempit dan sesaat, samudra keikhlasan dan ketawadu'an pada sang khaliq yang bisa meluaskannya dan mbuatnya bermakna.

Pekayon 6 November 2015

Zaa ( Amadia Raseeda),

Catatan Istimewa

Seperti yang sudah-sudah, kami sering terlambat mengambil raport tepat waktu terkait urusan administrasi yang belum beres. Masih bersyukur,biasanya akan ada informasi dari teman,bahwa aku ranking satu,sementara adikku  ranking pertengahan ke bawah. Dia memang malas sekolah.
Awalnya,memang aku kecewa ketika tidak bisa mengambil hasil belajarku,berbeda dengan adikku, cuek saja. Namun,aku menjadi terbiasa ketika hal itu terjadi berulang kali. Aku teringat,pada saat saat adikku mengatakan, "santai saja Kak,yang penting kita sudah mendapat informasi, nilai kakak bagus dan ranking satu, sementara aku gak bisa dibilang dapat ranking !" kemudian dia terbahak,tak ada beban.Sambil tanganya terus  membelah bambu ,dia melanjutkan "Kakak hanya penasaran saja kan,berapa nilai kakak. Santai saja kak, itung itung kita sedang menunggu buka puasa, kecewa itu biasa tapi jangan larut dan menjadi rasa marah dan  tidak terima ,ayo kita bantu meringankan tugas orangtua kita ."
Rasa kecewaku seolah lebur dalam tawa dan ucapan adikku itu.Dia perempuan tetapi lebih logis. Puasa, larut dalam kecewa, tidak terima, meringankan orangtua ,kata-kata yang menyentuh kesadaranku. Saat itu juga, aku berniat untuk sering-sering  bertukar pikiran dengannya. Dia bisa berpikir sedewasa itu di usia 16 tahunnya,sementara aku 17tahun.
Aku bersyukur,kondisi ekonomi keluarga kami yang pas-pasan tidak menjadikan kami bermental "mengasihani diri sendiri " dan "minder" . Aku salut pada orangtuaku , dalam kondisi sulit tetap tenang,tidak banyak bicara bernada cengeng. Kami juga mengerti , mereka bukan tipe pemalas. Satu hal lagi yang aku fahami, waktu,tenaga,pikiran mereka tidak melulu untuk memenuhi isi dompet pribadi. Jika ada rizki lebih, tidak sekedar untuk meningkatkan gaya hidup sebagaimana sudah diyakini kebanyakan orang sebagai standart  "kemapanan". Ayah ibu banyak melakukan sesuatu untuk kemaslahatan sesama. Perdagangan dengan yang memberi hidup selalu membuatnya bahagia, semangat terus berkobar. Secara tidak langsung,hal itu ter-transfer pada kami. Sungguh, action speak louder than words.
Aku ingat, suatu ketika saat kami dalam kondisi kesulitan keuangan untuk makan,justru ayah mengajak kami berbincang tentang rumah yatim.  Mungkin bagi sebagian orang akan berpikir, ah ngurus anak sendiri saja belum beres mikirin anak yatim. Apakah kita takut bercita-cita dalam kondisi sulit?
Ayah mengatakan bahwa kami akan menjadi kakak bagi adik-adik yatim.Bagaimana tidak terbayang dibenak kami kesulitan anak yatim miskin ketika kita diajak berbincang tentang hal itu? Jika hanya dijejali nasehat,mungkin saja kita jemu. Sungguh makin kusadari betapa keren metode tersebut. Aku ingin menirunya,
Ibuku , juga istimewa di mataku. Ibu lebih disiplin dari pada Ayah. Tidak sesabar Ayah dalam menggiring kami. Tetapi, menurutku sebuah formula yang pas ketika bekerjasama dengan ayah dalam mendidik kami.
Saat itu,kesekian kalinya  kami dalam kondisi "paceklik" .Tetapi ibu selalu memiliki kreatifitas yang luar biasa mengolah apa yang ada untuk pengganjal perut kami.Suatu saat,sambil mengolah ubi yang kurang manis, ibu bertanya padaku, apakah definisi barang substitusi ? Aku pun menjelaskan seperti menjawab soal ujian.Geli sendiri aku mengingat hal itu. Ibu mengatakan, kadang kita mengalami deadlock karena tidak terbiasa berpikir tentang substitusi. Tidak berpikir out of box untuk urusan-urusan yang tidak prinsip dan fundamental. Tetapi justru sering main-main,neko-neko dengan urusan prinsip.Kotak pemikiran umum yang seolah benar,jangan sampai menyempitkan samudra jiwa kita sehingga menjadi tidak mutmainah. Hemm...diksi ibu sering membuatku mengernyitkan kening. Terkadang heran, kata-kata semacam itu keluar dari pemikiran seorang wanita berpenampilan ala kadarnya, sehari-hari berpakaian kain santung sederhana,bahkan kadang sudah lusuh. Tidak pandai berdandan. Saat  membincang hal itu , aku baru naik kelas 1 smu tetapi seolah  ibu berbicara dihadapan mahasiswa semester 3. Tetapi alhamdulillah,aku bisa memahami. Karena kami memang sudah terbiasa diajak berpikir,berdiskusi. Ibu pernah bilang, ibu tidak takut  aku dan adikku menjadi stress karena beliau dan Ayah sering mengajak berbicara banyak hal secara mendalam,hakiki. Kemudian ibu menyebut tokoh-tokoh seperti Muhammad Al Fatih,Salman al Farisi, Ali bin Abi Thalib, Usamah bin Zaid, Imam Bukhori, Bung Tomo,Jendral Sudirman,HOS Cokroaminoto, Sultan Hasanudin ,Diponegoro. Kata Ibu mereka semua sudah berbuat sesuatu untuk agama dan negaranya di usia muda. Hemm...ibu pun sangat fasih bicara sejarah. Sehabis berbincang dengan orangtuaku semangatku untuk melakukan sesuatu atas nama ketundukan kepadaNya,pengabdian padaNya senantiasa membuncah.
Aku pernah mengajukan pertanyaan usil, mengapa ibu dan ayah tidak pernah bertengkar. Kata ibu sambil bercanda,apa perlu anak-anak tau?,kalau perlu,ibu akan segera memulainya. Aku tertawa,diplomatis sekali ibuku. Kemudian ibu mengatakan, kadang pertengkaran itu terjadi karena perbedaan yang tidak prinsip tetapi kenakalan ego ,hawa nafsu, menjadikan seolah penting dan prinsip. Kata ibu,itulah perlunya kita memiliki acuan untuk melihat mana yang prinsip mana yang bukan. Bukan acuan yang dibuat atas sebuah kesepakatan antar individu semata tetapi acuan yang nyata kebenaranya. Perbedaan tidak prinsip menjadi debu manakala kita memiliki pandangan dan misi jauh kedepan. Jika tangis,gelisah,sedih,marah,kernyit kening melulu keluar dari lingkar-lingkar ego dan kembali  untuk memuaskan ego semata,kita perlu belajar lagi untuk mengenal diri. Siapa kita ini?. Manusia,ya..manusia,kabarnya DNA manusia lebih dekat dengan Simpanse dari pada Simpanse dengan Gorilla. Oh...betapaaaa...jika Rabbal Alamin tidak membekali Akal dan petunjuk pada manusia.
Ah,pikiranku sudah kemana-mana.Ya Rabb, terimakasih atas segala nikmatMu.
                             Di kamarku  1997
Aku terkejut ketika istriku tiba-tiba menepuk bahuku.  Aku menutup buku Diaryku. Istriku mengernyitkan dahinya,sambil memandang diary lusuh itu...ya,diary masa kuliah semester 3 yang tak sengaja kutemukan di tumpuka. buku lama.
Istriku tersenyum membaca tulisan itu...mungkin dia lega,yang kubaca bukan kenangan lama dengan seorang teman istimewa.
selesai
Pekayon ,5 November 2015
Zaa (Amadia Raseeda)

Jumat, 13 Maret 2015

Quick Wash, 40 derajat, 400 rpm





Beberapa hari ini mesin cuci  bermasalah.  Aliran air tidak bisa deras, sehingga detergen tidak bisa “terguyur” masuk ke dalam tabung.  Terpaksa saya membuka laci detergen  dan menuangkan air dari sana,padahal tindakan seperti  itu “dilarang”. Saya pun memutuskan menggunakan sabun mesin cuci cair, agar sabun  lebih mudah mengalir ke tabung. Efeknya, anggaran belanja untuk membeli detergen pun meningkat karena detergen cair itu lebih mahal . Neraca perekonomian rumah tangga sedikit terganggu, lebay… ( Eh tapi jangan salah, ini sebenarnya miniature masalah ekonomi negara hihii)   
Timbul pula masalah lain, mesin cuci mengalami “kekacauan” program.  Setiap kali saya sudah memrogram “quick wash” dengan suhu cold dan kecepatan 400 rpm, belum genap lima menit berputar, tit tut tit tut suhu berubah menjadi  400  mesin berhenti berputar,  lampu indicator pada kecepatan 400 rpm pun mati.  Awalnya kejadian semacam itu hanya sekali. Tetapi akhir-akhir ini, terjadi beberapa kali setiap kali mencuci. Beberapa kali pula  saya harus berlari  mendatangi mesin cuci untuk membetulkan  tombol  seperti program semula. Alhamdulillah, mesin kembali berputar hingga selesai dan berbunyi tit tut tit tut dengan nada yang berbeda, berartin pintu mesin cuci siap dibuka.
Kondisi demikian ini tidak terlalu menjadi semak pikiran  ketika terjadi hanya sekali dan saat  saya sedang berada di pojokan dapur. Karena   jaraknya lebih dekat dengan mesin cuci . Tetapi jika saya sedang berada di pojokan “dapur ide ” , itu yang menjadi masalah. Harus switch dan switch  dari “hal abstrak” ke “nyata” bukan perkara sepela bagi ketrampilan kerja otak saya. Sadar diri, tidak memiliki otak yang brilian.  Supaya tak menjadi gulma dalam danau perenungan yang saya harapkan jernih, sekalian saja saya menarik kondisi terkini si mesin dalam pojok perenungan saya dan saya “masak” habis-habisan.  Tau rasa lu haha.  Nah, beginilah jadinya, semula akan menulis tentang literasi  berubah menulis tentang mesin cuci. Inilah  masakan  itu, semoga bisa dinikmati….
Mesin itu “tit tut tit tut” memberi alarm bahwa dia sedang bermasalah, bila dia “membisu” bisa-bisa cucian setumpuk tak terproses sama sekali dan saya hanya bisa melongo saat dua jam kemudian mendatanginya. Saya  juga berpikir, mungkin kondisi ini agar saya tetap bergerak dan peredaran darah saya lancar. Karena kalau sudah masuk “dapur ide” kadang mengkhawatirkan :D. Akhirnya yang ada adalah  Alhamdulillah ‘ala kulli hal, santai, damai, tenang. Menikmati setiap langkah wara wiri tanpa gerutu dan kesal dalam kesadaran memang sedang seperti ini yang harus saya hadapi. Mengada-ada? Entahlah, pokoknya begitu.  Saya juga tidak mengerti apakah akan terus begitu ataukah  ini efek “conditioning” yang dalam teori otak katanya  “conditioning” pengaruhnya hanya sementara, tidak tahan lama.  Terserah, yang penting saat ini saya bisa “menerima” sambil menggeggam erat sepotong do’a : ” ya muqollibal qulub tsabit qolbi ‘ala dienik” . YaAllah yang maha membolak-balikkan hati tetapkanlah hatiku atas dienmu ( Dien, bukan saja berarti “agama”,  artinya  lebih luas dan mendalam.)
Lalu….ini adalah pemikiran yang muncul dari belahan otak kanan. Tentunya lebih  imaginative, dramatis, filmis (halahhh) dan ngaco dikit ehh nggak sih InsyaAllah.
Saya membayangkan mesin itu adalah manusia terutama diri saya sendiri. Suhu meningkat dan macet, betapa mengerikan. Apa yang sebenarnya terjadi bila manusia dalam kondisi  semacam itu. Dalam konteks penyakit fisik, peningkatan  suhu tubuh adalah sebuah gejala saja. Penanda ada yang tidak beres dalam tubuh kita, mungkin ada semacam virus, bakteri  atau bahkan sel berbahaya yang bercokol. Bila suhu  di bawah 400, tubuh sedang melawan bibit penyakit, bila sudah lebih dari  itu  tubuh sudah terinfekasi. Disinilah harus “turun tangan” dengan lebih seksama. Mungkin kita perlu cek darah, bahkan RMI  atau  rontgen ( naudzubillah min dzalik )
Kurang lebih, demikian juga dalam ranah batiniah. Saya bayangkan “kenaikan suhu “ itu karena ada “sesuatu” dalam batin kita. Mungkin, bukan tersebab kemarahan semata tetapi masalah yang begitu  complicated, saling terkait, tarik menarik atau bahkan dorong mendorong, (halahhh apa sih ni ..). Hemm.. masalah yang datang kadang membuat kita merasa, seolah ruang hati tak cukup menampungnya. Seolah kita tak jua mampu “membonsai” pohon duka. Padahal… 
“Haiii..para abdiKu, Aku sudah menakar masalah ini hingga sampai di hadapanmu, kemarilah, Aku bisa cemburu bila kau membesarkan tangis dan kesedihanmu  sementara dalam setiap sholat kauucap AllahuAkbar!”
Ah, maaf lagi-lagi  itu hanya ilustrasi  yang ditampilkan belahan otak kanan.
Lalu??  Lalu kita berusaha mencari obat tentunya. Bila mesin cuci yang rusak bisa kita utak atik tombolnya, manusia pun juga bisa (memang manusia punya tombol? namanya perumpamaan). Mana tombol yang harus sering diaktifkan, mana yang harus diaktifkan nonstop, mana yang harus dinyalakan atau dimatikan pada sirkumstansi tertentu  dsb.  Mungkin dalam upaya “membenahi” diri itulah, banyak yang memilih  untuk menyendiri,merenung dalam  kesenyapan malam. Mendiagnosa batiniah,  mengakui  sejujur-jujurnya perasaan kita di hadapan sang Hakim tertinggi. Saya sedih ya Lathif,  saya mulai putus asa  ya Jabbar  , saya tidak tahu harus bagaimana yaa Basith. PadaNya, Ya , padaNya lebih dahulu bukan pada pasangan, kerabat atau sahabat apalagi sosmed :D.
Inilah bentuk “pengobatan” tahap awal, “aduan spontan” . Bahkan bila digambarkan secara dramatis dan tidak “mainastream”(mungkin) begini;…dua manusia dalam ikatan pernikahan atau dalam ikatan orangtua dan anak sama-sama terjaga di  sepertiga malam terakhir, dengan beban hati masing-masing mereka memilih “bermanja” dengan Rabb lebih dahulu sebelum saling mengurai beban hati , diskusi,musyawarah mencari solusi. Ini bukanlah bentuk ignor pada hablumminannas.Bukan pula melupakan usaha dhohir.
Bicara tentang bermanja dengan Rabb, kita manusia dewasa InsyaAllah mempunyai pengetahuan dan kesadaran yang telah mengutuh bahwa bermanja bukanlah meminta Allah berlaku sebagai  “tukang sulap”. Bim salabim masalah hilang dalam sekejap.  Setuju kan?  Bermanja  lebih pada kesadaran bahwa tempat curhat yang aman dan nyaman adalah Dia, walau tanpa “laporan” pun sebenarnya Allah mengetahui. Tetapi Allah sangat suka jika hambaaNya merengek padaNya ( dalam posisi sebagai  hamba, bukan pendikte).
Sebenarnya inilah hakekat “ Innallaha laa yughoyyiru maa biqoumin khattaa yughoyyiru maa bi anfusihim  “, Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sebelum kaum itu merubah keadaan diri mereka sendiri. ( QS ke 13 ayat 11)
Diri adalah manusia, manusia terdiri dari lahir dan batin, sebenarnya ayat itu menitikberatkan pada kondisi batin atau jiwa yang berubah. Menempatkan logika,dzon, dsb jauh dibelakang . Mengedepankan Sang Maha segalanya. Jadi jangan terjebak, perubahan diri bukan lah perubahan secara “fisik” semata tetapi di dahului dengan perubahan batin. Who am I? Kita ini siapanya Allah sih? Punya tugas,fungsi dan peran dimuka bumi nggak? Kita ini punya modal apa kok kabarnya disebut sebagai khalifah di muka bumi? Kita punya kelemahan diri apa aja? Kalau iya, ada terapinya nggak? Terus…Allah tu siapa? Nah, kalau punya pertanyaan begini, ya kenalan dulu aja. Aneh ya, kenalan kok sama diri sendiri dan Allah hihii. Lagian apa hubungannya gitu lhohh…cari obat saat “suhu meninggi”  dengan kenalan sama diri dan Allah dulu, keburu parah lah . Begitukah? Nggak juga sih, malah itulah penjaga agar tidak sampai lebih parah. Bahkan ada hal-hal lain yang perlu kita kenal lebih mendalam, kalau bahasa kerennya kita harus ma’rifat  terhadap beberapa hal penting . Yahhh, apa lagi sihhh ?? wah lha ini, kalau saya tulis bisa 100 episode, segini dulu aja deh…jika sakit berlanjut hubungi dokter, ehhh :D (alasan …)  
Inilah usaha mengatasi “kenaikan suhu” pada manusia. Soal kenaikan suhu pada mesin cuci, baiklah akan saya panggil tukang service saja, yang penting saya service batiniah dulu  :D
Hufft, semoga kalau ada yang browsing tentang mesin cuci yang rusak tidak kaget mendapati tulisan ini :D

Bersambung  ga  ya? InsyaAllah bersambung ..

Senin, 09 Maret 2015

SABAR



“Sabar, jangan terburu-buru ..segala sesuatu itu jangan terburu-buru!” kata seorang lelaki pada seorang wanita dan seorang anak muda belia, suaranya menggelegar. Alisnya mengkerut,matanya menajam kemudian rahangnya menyatu. 

“ Kamu juga harus sabar !” kata si wanita nada datar namun wajahnya merengut dan memerah.

“Sudah-sudahhhh, kalian semua memang tidak sabar !” seru sang anak kemudian pergi meninggalkan tempat itu.

"Hihiii… “ tawa cicak yang MENEMPEL  di dinding sambil menunggu binatang TERBANG…
Di susul kekeh laba-laba yang sedang MERAJUT KEMBALI jaringnya yang rusak karena ditabrak seekor burung yang sibuk MENCARI rumput dan daun kering untuk SARANG calon anak-anaknya. 
Si tikus pun cekikikan sambil terus MELUBANGI tepian pintu dengan giginya. Sementara si kucing meyeringai sambil MEMINDAHKAN anak-anaknya KETUJUH KALINYA  agar tidak di mangsa si jantan.  Dan di kejauhan sana. akar pohon besar MENYEMBUL dari KEDALAMAN  tanah.

 

Sabtu, 07 Maret 2015

Ingatan Sang Lidah



Namanya juga “wong kampung” ,sudah di bawa ke kota ya tetap kangen masakan kampungnya. Apalagi masakan Solo (wah ga niat rasis). Tetapi, sulit menemukan makanan khas kampung di rantau ( Jakarta dan sekitarnya) yang benar-benar pas dengan kenangan lidah saya ( halah lidah kok bisa mengenang ya).
Akhir-akhir ini, saya lebih rajin memasak kudapan. Karen nafsu makan tiga lelaki kecil di rumah sedang aduhai. Bersamaan itu, mendapat tantangan dari teman di FB dalam acara #foodChallenge. Berdasar sirkumstansi ini....alhasil, saya yang  biasa nulis kalimat sok-sok filosofis, sok bijak, perenungan, status koplak ,nulis cuplikan cerpen,novel atau nulis puisi, tetiba rajin banget upload masakan plus resep dan tipsnya  “biar sedep” helehh gayanya. Preferensi saya adalah  masakan tradisional masa kecil dari kampung. Kebetulan sekali suami juga berasal dari sekitar Solo dan anak-anak pun sangat menyukai masakan Solo.
Nah ini masalahnya,  kadang saya tidak mengetahui resep masakan tradisional tersebut. Tetapi, sekarang ini teknologi canggih adalah salah satu “pelayan” manusia yang cukup setia, terutama yang bernama “Mbah Google”. Wih, beliau itu pintar dan ramahnya luar biasa, ditanya apa aja jarang tidak menjawab hihii… mengapa? Karena otaknya banyaaaakkkk banget. Tetapi dia tidak puya lidah seperti lidah kita sendiri,terutama kalau ditanya resep masakan. Jadi,jangan sepelekan lidah kita dan lidah mbah Wiro dan Bu Lek Warsi  ( disini saya nobatkan sebagai symbol orang masa lalu dari Solo  yang pintar memasak) .Oleh karena itu, biasanya saya mengumpulkan beberapa resep kemudian saya buat perbandingan sambil tanya sama kenangan si lidah tadi hihi. Seperti saat saya membuat nasi liwet. Saya ingat-ingat benar, rasa opornya sangat sederhana, jadi dari sekian banyak resep yang tersedia, saya memilih bumbu yang paling sederhana,karena yang” diingat lidah”  saya begitu hihi. Demikian juga saat saya membuat Srabi Solo (ada yang menyebut Srabi Inggris, duhh kok bisa gitu ya.. :D). Saat membuat masakan khas Betawi,yakni Semur, saya mengingat semur pelengkap  nasi uduk yang paling enak, saya biarkan lidah saya mengenangnya hihi. Dan menurut informasi dari salah satu pedagang langganan saya di pasar, orang betawi punya kecap favorit yang dipakai untuk membuat semur saat lebaran, nah saya pun  membeli kecap itu hehe…
Begitulah, kadang saya bisa “asal-asalan” soal makan, berlagak buaya yang ga punya lidah ( tapi kok ada tanaman lidah buaya ya). Tetapi, bila saya sudah niat banget memasak  bisa berlagak seperti juru masak kraton hag hag hag. Mungkin juga karena terlahir dari keluarga besar ,punya ibu yang  jago masak,rias pengantin,menjahit dan ngurus tanaman dan masih banyak lagi…jadi,sahih kan ya kalau saya bisa memasak dan feminin sebenarnya ( hadeuhh butuh pengakuan)  hehe. Walau anak ragil ( bontot) ,ibu saya tidak peduli, bontot disayang dan dimanja? wahh hukum itu tidak ada dalam kamus ibu saya. Malah ibu pernah  bilang," Kamu harus bisa pegang bolpen dan ulekan !" .Nah looo, mau apa kalau sudah begini?? Hihi... Jadi, masa kuliah dulu saya dapat giliran memasak ,bergantian dengan dua kakak saya. Walau kadang saya sering bandel, “mbolos” masak hihi.
Pernah, di masa kuliah saya dan teman-teman menunggu dosen datang, dengan penampilan saya yang saat itu menurut saya  sudah kece badai;  celana jeans bootcut, kemeja kotak-kotak warna gelap dan jilbab rajut hitam favoritku. Tetiba saya kaget saat melihat  kuku jari jempol saya , kok hitam. Hemm…rupanya kena getah kangkung, karena sebelum berangkat kuliah saya harus masak dulu hihi.
Demikianlah, penampakan luar saya memang sering diragukan, sering underestimated ga bisa masak. Di situ kadang saya merasa sedih. :D. Padahal ingatan lidah saya itu tidak buruk hihi...





Kamis, 05 Maret 2015

Simple Problem


Dari dalam kamar Diana mencium wangi seduhan teh melati dan mendengar perbincangan Amanda dan Adrian tentang cuaca bulan ini, cerah dan berangin, menyenangkan. Adrian mengajak Amanda duduk di luar, untuk melihat bintang yang bermuculan, dari sedikit hingga bertaburan memenuhi langit. Mereka terkekeh, kemudian ruang tamu senyap…
Diana melongok dari jendela kamar.Melihat mereka sudah duduk di tikar tradisional dari pandan dengan sajian teh poci. Sesekali tertawa sambil menunjuk ke langit.Diana tersenyum. Kembali duduk di kursi kayu kekar berwarna coklat, kemudian meraih kalender meja di depannya. Jarinya mulai menunjuk angka-angka pada kalender…dua,empat, enam..Sudah tujuh  hari dia pergi.Sekarang  jari telunjuknya ganti mengetuk-ngetuk meja. Kemudian meraih gelas berisi air putih,mencecepnya sedikit saja.

“Semua menilaiku sama.” gumamnya lemah.


Sambil  menghembuskan nafas dia  bangkit dari duduknya, berjalan mondar-mandir akhirnya berhenti di depan cermin berbentuk oval besar yang menempel pada pintu almari. Memandangi dirinya. Sesaat kemudian duduk membungkuk di tepi ranjang,kedua ujung sikunya berada di kedua pahanya sementara dua  telapak tangannya menopang kepalanya. Sekitar tiga menit kemudian, cairan bening menetes di lantai,terisak kemudian tergugu pilu.

 
**

Pagi masih gelap, Diana berpamitan untuk pergi tetapi tidak mengatakan akan pulang ke rumahnya. 

“ Yakin sudah bisa menerima?”

“Sebenarnya belum, tapi bagaimana lagi? pikiranku telah menjelma dalam lakuan dan muncullah penilaian. Dan aku sudah lelah,aku ingin menjauh,reputasiku sudah tidak baik .”

“Putus asa!”

“Lelah”
“Istirahatkan jiwa dan pikiran kakak, tunda satu hari saja.”

“Tidak !”
“Setengah hari!” tawar Amanda, sorot matanya tajam

Diana tersenyum sambil membalas tatapan Amanda kemudian mengangguk lemah.

“Caper!” ucap Diana tiba-tiba sambil tersenyum kecut kemudian terkekeh kecil

“Siapa?”

“Aku !” 

“Pada?”

“Siapa lagi?” jawab Diana sambil memandang Amanda tanpa senyuman “Keinginanku yang aneh-aneh itu hanya caper !”

“Mengapa begitu?”

“Amanda…kemarin aku melihatmu dan Adrian duduk di teras menikmati malam yang berbintang.”

“Ya,lalu?”

“Sesederhana itu sebenarnya inginku!”

“katakan saja !”

“Sudah !”

“how ?”

“Dengan Isyarat!”

"Selain isyarat?"

"Tidak, seharusnya dia bisa menangkap!"

“Heemmm….., tidak bisa begitu !  Sekarang aku tahu!”

“Apa?” 

“Actually your problem as simple as your simple happiness that you want !” kata Amanda sambil menyerahkan buku tentang cara kerja otak laki-laki pada Diana.

zaa_zakiyah@copyright

Senyum Sang Guru

Sejak saat itu, ambisinya untuk membuat karya indah kian meruang. Namun, seolah sang ide bergegas pergi, mood meleleh.   Tumpukan buku, ...