Rabu, 26 Juli 2017

Nulis Bareng John Edgar Wideman




PEMINTAL CERITA
John Edgar Wideman

Seorang pria tengah berjalan di tengah hujan sambil mengudap pisang. Dari mana dia datang. Ke mana dia hendak pergi. Kenapa dia mengudap pisang. Seberapa deras curah hujan saat itu. Apakah dia keberatan diguyur hujan seperti itu. Seberapa cepat ia melangkah. Apa yang sedang dia pikirkan. Siapa yang melontarkan rangkaian pertanyaan ini. Siapa yang harus menjawabnya. Kenapa. Siapa peduli. Memang ada berapa banyak pertanyaan yang bisa dilontarkan tentang seorang pria yang sedang berjalan di tengah hujan sambil mengudap pisang. Apakah pertanyaan yang tadi telah terlontar termasuk dari rangkaian pertanyaan tersebut atau masih ada pertanyaan lain, yang tak ada sangkut pautnya dengan si pria, atau perjalanannya, ataupun hujan yang mengguyur. Jika bukan, lantas apa yang mau ditanya. Apakah satu pertanyaan nantinya akan melahirkan pertanyaan lain. Jika iya, apa gunanya. Jika tidak, apa kira-kira yang akan jadi pertanyaan terakhir. Apakah pria itu tahu jawabannya. Apa dia suka makan pisang. Atau berjalan di tengah hujan. Apa dia bisa merasakan beban perhatian yang diarahkan kepadanya oleh berpasang-pasang mata di sekitarnya, yang melempar beban pertanyaan ke arahnya. Mengapa warna kuning buah pisang yang begitu mencolok jadi satu-satunya warna yang terlihat: warna terakhir yang masih tersisa di tengah dunia yang begitu kelabu, yang saat diguyur hujan justru membuat segalanya terlihat semakin abu-abu. Aku mengenali pola pertanyaan yang datangnya bertubi-tubi. Dan satu-satunya jawaban yang bisa kuberikan adalah ini: ada begitu banyak cerita yang bisa kutulis tentang seorang pria yang tengah berjalan di tengah hujan sambil mengudap pisang, namun bisa dijamin semuanya bernada sedih — kecuali aku ada di belakang jendela, bersamamu, dan mengamatinya dari kejauhan.


                                                                                               

Hujan tak terlampau deras mengguyur kota kecil itu. Jeremy menghabiskan potongan pisang terakhir sambil terus berjalan, tak peduli coat panjang warna coklatnya mulai basah. Sepotong pisang segar tadi seolah memberikan energy tersendiri agar dia bisa berjalan cepat ditengah hujan. Orang-orang yang sedang berteduh menatapnya heran, Jeremy tak memperhatikan. Dia terus berjalan cepat. Bukan karena takut hujan,tetapi seolah dia ingin segera sampai di suatu tempat. 

Sampai di tikungan Jeremy berbelok, menelusuri jalan-jalan sepi berumput kemudian menuju sebuah rumah tua yang halamannya ditumbuhi banyak sekali pohon cemara. Perlahan-lahan dia mengetuk pintu itu

“Sterla,aku datang !”

Namun pintu rumah itu tak juga terbuka. Dia melihat ke arah bel dengan malas, sudah berminggu-minggu bel itu mati. Tetapi dia berpikir,apa salahnya dia mencoba. Sterla membuka pintu.

“Kemana kau Sterla, biasanya kau menungguku di ruang tamu !”

“Aku tadi terlambat bangun, aku sedang memasak kudapan untukmu !”

“Mengapa terlambat? Kau masih mengkonsumsi obat tidur itu?”

“Emmm….,tidak ehh iya,hanya separuh !”

“Kenapa,bukankah kau sudah tidak meminumnya sejak seminggu ini?”

“Aku gelisah !”

“Apa yang membuatmu gelisah?”

Sterla hanya diam,kemudian menyodorkan Banana Pancake pada Jeremy. Wajah Sterla muram.

“Ada apa Sterla?”


Jeremy menghentikan kunyahannya kemudian terbatuk,seraya mengambil minuman.Memandang Sterla dengan sedih.

“ Mengapa Sterla,apa lagi yang mengganggu pikiranmu ?”

Sterla hanya diam. Hujan melebat, angin kencang menunduk-nundukkan cemara. Sterla bergegas menuju jendela kemudian menutupnya. Namun dia tak juga beranjak dari dekat jendela. Matanya memandangi Jeremy yang sedang menikmati Banana Pancake yang ke dua. Sterla beringsut menuju dapur, Jeremy asyik membaca koran sore. Tiba-tiba tenggorokannya sperti tercekat. Jeremy mengaduh.

“Tak perlu menjerit untuk meredakan rasa sakit!”

Jeremy mendelik,nafasnya tersengal.

“Kau seorang psikiater, ayo tunjukkan kekuatanmu menahan sakit !” kata  Sterla dengan santa seraya menghisap rokoknya.

“Kekk !”

Sterla tertawa lepas. Langit kian kelabu kemudian menggelap dan senyap.
Sterla memberikan penawar racun pada Jeremy,dengan syarat Jeremy tidak perlu lagi menjadi terapisnya.
Dengan wajah sendu Sterla menatap foto anak –anak dan cucunya yang tergantung di dinding. Selama ini Jeremy mempercayai,bahwa mereka semua sudah tiada dan Sterla sebatang kara. 

Amadia Raseeda


**


Benar kata John Edgar Wademan, ceritaku menjadi kelabu karena aku tidak duduk bersamanya.






1 komentar:

  1. CasinoBonusCodeBonusWager > Up To $100 Free on Mega Moolah
    The Mega Moolah is 사이트 제작 the ultimate bonus 토토 사이트 코드 for players who want to know more 토토 먹튀 about their game, and we list out 3 3 토토 what to expect when it comes to 유흥 후기 bonuses and promotions.

    BalasHapus

Senyum Sang Guru

Sejak saat itu, ambisinya untuk membuat karya indah kian meruang. Namun, seolah sang ide bergegas pergi, mood meleleh.   Tumpukan buku, ...