Kita
pernah bertukar resah dibawah senja nan menjingga. Angin enggan berhembus, kian menyesakkan dada.
Namun rona jingga senja kala itu seolah menjadi saksi bisu bahwa kita tak sedang sekedar menggelisahkan nasib diri yang sedang berada di tepi, bukan.. bukan itu.
Namun rona jingga senja kala itu seolah menjadi saksi bisu bahwa kita tak sedang sekedar menggelisahkan nasib diri yang sedang berada di tepi, bukan.. bukan itu.
Kita mengupas sebuah realita hidup
di luar zona aman kita, yang tak sederhana. Variasi yang menjelma esensi, kekosongan menjelma keagungan, kedangkalan menjelma kecerdasan. Kita saling bertukar tanya,sampai kapan kita menjadi bagian semua itu?
Kita tertawa, terbata dan kemudian
berurai air mata. Orang-orang yang sedang berbondong pergi berpesta tertawa
melihat kita dan berkata, kita gila. Kita hanya saling bertukar senyum dan bertukar nasehat; tak mengapa.
Meriah
suara pesta dan suara kita hilang ditelan genderang pesta pora. Tak terdengar
telinga kita sendiri. Langit menggelap. Dan tiba-tiba suara itu berubah serupa
desing peluru yang siap menembus kepala. Aku gemetar, kelu dan bisu. Aku kehilangan
nyali.
Aku mulai terpikat kemeriahan pesta pora itu. Keharuman yang menyeruak, kenikmatan yang tak sederhana. Aku mendekat dan kian dekat. Mereka tak lagi menyebutku gila, aku lega.
Kau hanya tersenyum sambil menepuk pundakku. Tak ada kerut kening , bermakna permakluman,jiwa yang selasa. Ya, aku bisa membacanya. Kau memang istimewa.
Aku mulai terpikat kemeriahan pesta pora itu. Keharuman yang menyeruak, kenikmatan yang tak sederhana. Aku mendekat dan kian dekat. Mereka tak lagi menyebutku gila, aku lega.
Kau hanya tersenyum sambil menepuk pundakku. Tak ada kerut kening , bermakna permakluman,jiwa yang selasa. Ya, aku bisa membacanya. Kau memang istimewa.
Dan.... senja berganti senja saat
kita bertemu lagi dibawah senja yang jingga…
Kita tak lagi bertukar resah... ,karena aku bungkam.
Dan dengan lirih kau berpuisi
Kita tak lagi bertukar resah... ,karena aku bungkam.
Dan dengan lirih kau berpuisi
Tak mengapa kau bungkam demi sebuah
citra yang sedang kau bangun
Namun kau tak perlu mengadili mereka yang berani bersuara demi sekitarnya
Namun kau tak perlu mengadili mereka yang berani bersuara demi sekitarnya
Tak mengapa kau bungkam karena hatimu
tak cukup kuat menerima reaksi
Namun jangan kau tutup mata dan telingamu akan kecamuk disekitarmu
Namun jangan kau tutup mata dan telingamu akan kecamuk disekitarmu
Tak mengapa kau bungkam karena tak kuasa
melawan tapi pastikan kau tak akan mengeluh berkepanjangan di belakang
Tak mengapa kau bungkam tapi pastikan kau
tak tercekam rasa ketakutan disebut gila
Tak mengapa kau bungkam untuk melatih
diri berkata yang baik atau diam
Namun pastikan apa ukuran baik burukmu
Namun pastikan apa ukuran baik burukmu
Tak mengapa sungguh tak mengapa ....tapi
sekali lagi pastikan, bungkammu bukanlah demi eksistensi dirimu yang semu
Puisimu bak sembilu yang menyayat dinding jiwaku. Ya jiwaku yang mulai
lengang dan rapuh walau nasib jasadku menjadi elok ,tak lagi di tepi.
Rona jingga senja tak lagi membisu dia menatapku dan tertawa.
Kemang Pratama ,awal Oktober 2017
*photo by Zaa zakiyah