Jumat, 08 Januari 2016

Inikah Merdeka???



Urusan perijinan begitu mudah, kami segera menyelesaikan acara berikutnya yaitu bertemu dengan beberapa rekan di tempat yang berbeda. Tiga jam kemudian barulah kami bisa santai jalan-jalan di pusat kota.
Banyak rumah makan khas daerah dari sabang sampai merauke. Nasi Guri Aceh, Nasi Uduk Betawi, Nasi Liwet Solo, Nasi Pecel Madiun,Nasi Pecel Ndeso, Empal Gentong, Soto Banjar, Nasi Padang dan sebagainya. Kedai jajanan tradisionalpun berjajar. Semua kedai makanan itu sudah franchise dan berlabel halal. Benar-benar menyenangkan. Satu hal lagi yang menarik, masing-masing kedai menampilkan bangunan khas daerah masing-masing.
Sejam kemudian , aku mulai lapar. Mudah,tinggal pilih…tapi pilihan kami adalah nasi pecel “ndeso” khas Solo. Saat makanan tersaji…
“Kok ada daun pisang segar, sayuran dan lauk yang komplit ya?” gumamku
“Nah, aku baru mau ngomong!” kata suami sambil tertawa.
“Alhamdulillah, InsyaAllah…ini pertanda baik.”
Suamiku hanya tersenyum, manggut-manggut sambil mengunyah sayuran pecel yang “kres” , sementara aku lebih dulu menggigit karak Solo yang kriuk “kemripik”.
Setelah makan kami tak segera beranjak pergi,  tempat itu begitu “berasa di rumah nenek” bagi kami. Tikar pandan, air putih dalam kendi, tempat cuci piring dari mangkuk batok kelapa, piring gerabah…masyaAllah, luar biasa menyenangkan.
Satu jam kemudian kami keluar, karena pengunjung semakin ramai sementara tempat duduk kurang. Kami melanjutkan jalan-jalan, masih di sekitar pusat perdagangan itu saja. Sejam kemudian adzan ashar  berkumandang.  Kami segera menuju sebuah masjid yang cukup megah bernama “Al Fath” . Kabarnya, masjid itu tidak pernah dikunci, pintu terbuka 24 jam. Bagaimana menguncinya? Memang masjid itu tidak berpintu, hanya bertembok rendah sebagai pemabatas saja. Tengah malam pun kabarnya masjid itu masih ramai dikunjungi . Hati bergetar mendengar cerita itu.

Setelah sholat, aku mengaktifkan ponsel. Muncul pesan dari suami, bahwa beliau akan melihat-lihat masjid dan mengobrol dengan beberapa marbotnya.Hatiku bersorak ternyata keinginan kami sama. Kujawab “Toss Pak”  
Sementara suami mengobrol dengan pengurusnya yang berkebangsaan India, Melayu dan Afrika. Aku asyik menjelajah perpustakaan di sayap kanan. Di situ aku berkenalan dengan seorang gadis muda,bernama Michelle . Bermata biru kehijauan , berkulit bule tapi aku tidak bisa melihat rambutnya berwarna apa karena tertutup oleh khimar lebar. Dan…tak sengaja mataku melihat merk khimarnya, salah satu merk  khimar yang cukup terkenal di Indonesia. Aku tersenyum.
Walaupun bahasa inggrisku pas-pasan Alhamdulillah komukasi tetap berjalan, sesekali aku menyampaikan maksud pembicaraanku dengan tulisan.  Sungguh menggelikan namun seru. Gadis muda itu bercerita, di masjid itu padat kegiatan. Sering ada rapat-rapat, kajian-kajian, bahkan di halaman yang luas itu sering untuk berbagai latihan fisik, misalnya senam pernafasan dan bela diri. Dia sendiri, datang ke masjid itu selain untuk sholat, juga menunggu kawan dan salah satu guru. Aku tertegun, pantas saja masjid itu tidak pernah dikunci. Dan satu hal yang kucermati….tidak banyak masjid disekitarnya, seolah semua berkumpul di masjid itu. Pusat kegiatan penting bukan sekedar sarana ritual sholat.
Sekitar satu jam kami berada di masjid itu, kemudian kami menuju sebuah kedai kopi yang sejak tadi sudah kami incar.
Lima belas menit kemudian….
Pramusaji menghampiri kami ,menyerahkan lembar menu. Aku tertawa geli . Tidak ada macchiato, espresso, cappuccino,mocha, latte, latte macchiato, red eye dsb. Yang ada, kopi tubruk ginastel,kopi saring ginastel, kopi gingetel ( legi anget kentel) tubruk dan saring , kopi jahe (tubruk atau saring),kopi tubruk “klenying-klenying ” ,  kopi rempah (tubruk atau saring) dan masih banyak lagi dengan nama-nama khas Indonesia ,tidak di translate. Kedai itu juga menyediakan Susu dijual terpisah..itupun susu cair murni, ada susu kambing dan susu sapi. Gelas dan perabotan pendukung  “jaman simbah” pun menjadi ciri khas kedai kopi itu… bagaimana tidak, kedai kopi itu bernama “Kedai Kopi Eyang Putri” Kedai kopi itu juga menyediakan aneka snack. Aku kegirangan saat membaca “semar mendem” . Aku pun segera memesan kopi jahe saring dan sepotong semar mendem.  Sementara suami memilih kopi tubruk “klenying-klenying” alias black coffee less sugar dan sepotong kue talam. Sambil menikmati kopi kami membicarakan masjid yang kita kunjungi tadi sambil sesekali mengamati para pengunjung. Sementara suami sedang berbalas pesan dengan rekannya mataku pun melancong ke setiap sudut ruangan…
Serombongan anak sekolah, tujuh orang  memasuki kedai kopi. Mereka memesan kopi susu kambing dan aneka snack.  Setelah makanan tersaji mereka mulai mengeluarkan ponsel dan cekrek..cekrek….     
                “ Indonesian vintage stuff,  It’s cool !”  kata si rambut pirang lurus bermata kehijauan
                “Yes I thik so, !” jawab si rambut pirang bergelombang dan bermata coklat. “Yess, success I have upload it on instagram!” lanjutnya
 Kemudian mereka mengerumuni ponsel si rambut coklat sambil mengucapkan kata-kata yang kadang tidak kufahami. Mungkin bahasa gaul.
Sekitar setengah jam kami nongkrong di kedai itu. Sekitar sepuluh langkah meninggalkan kasir, tak sengaja jilbabku tersangkut di rantai tas salah seorang wanita.
                “Ohhh..i’m sorry!” kataku
                “It’s ok..it’s ok  Mom !” jawabnya ramah sambil menyentuh bahuku seolah menenangkanku. Kemudian kami berkenalan.
Ku elus kepala bocah laki-laki  yang digandengnya. Si bocah meringis, giginya bersih dan rapih. Aku berjongkok dihadapan bocah itu, kutanya siapa namanya, berapa usianya, sekolah di mana, dia menjawab dengan berani tanpa rasa takut. Aku kembali berdiri dan mengobrol dengan  Anne, dia nampak sangat santai, well come ,tidak sinis,tidak takut dan nampaknya tidak terburu-buru menyelesaikan urusan lain.Tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara aneh, tapi seperti sering kudengar di masa kecil.
                “What’s that boy?” tanyaku sambil tersenyum
Bocah empat tahun itu tertawa cekikian kemudian mengeluarkan tangannya yang tadi disembunyikan di belakang.
                “Frog !” jawabnya, tawanya kian lebar.
Aku menutup mulutku menahan tawa yang hampir tak terkendali. Aku bertanya pada Anne, di mana dia membeli mainan “Indonesia banget” semacam itu. Ternyata ada sebuah toko di ujung jalan yang menjual barang-barang unik dan khas dari Indonesia. Termasuk “kodok-kodokan” khas Sekaten yang dipegang bocah tadi.  
Aku memandang lagi ke arah bocah itu, aku baru sadar, dia mengenakan kaos bergambar wayang, Gatut Kaca dan sepatunya persis sepatu anakku yang kubeli di Cibaduyut. Aku pun berpamitan pada Anne,aku mengulurkan tanganku untuk bersalaman, dia memegang tanganku dengan dua tangannya….
                “May I get your phone number?”
Aku tertegun, kulihat matanya memancarkan kegembiraan dan harapan. Dia benar-benar tidak merasa takut? Pikirku. Apalagi dia melihat aku sedang ditunggu pria berjenggot dan  banyak orang mengatakan mirip  Imam Samudra yang “dikabarkan” teroris.  Dia tidak curiga pada kami? Pikirku.
                “Mom..!” panggilnya
                “Oh…OK !” jawabku ,kemudian kuberikan nomor telponku “But…why you…?” kuhentikan pertanyaanku, kemudian aku hanya memandangnya. Anne tersenyum kemudian berpamitan, sebelum pergi dia memelukku.
Tak lama kemudian aku keluar dari kedai kopi itu…..,pikiranku berkecamuk. Rindu rumah, rindu sudut ruangan bernuansa coklat….sudut perenungan. Tomorrow I’ll say.. bye bye New York City.
Dan…aku terbangun dari tidurku dengan pertanyaan… itukah merdeka?



                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Senyum Sang Guru

Sejak saat itu, ambisinya untuk membuat karya indah kian meruang. Namun, seolah sang ide bergegas pergi, mood meleleh.   Tumpukan buku, ...