Sabtu, 07 Maret 2015

Ingatan Sang Lidah



Namanya juga “wong kampung” ,sudah di bawa ke kota ya tetap kangen masakan kampungnya. Apalagi masakan Solo (wah ga niat rasis). Tetapi, sulit menemukan makanan khas kampung di rantau ( Jakarta dan sekitarnya) yang benar-benar pas dengan kenangan lidah saya ( halah lidah kok bisa mengenang ya).
Akhir-akhir ini, saya lebih rajin memasak kudapan. Karen nafsu makan tiga lelaki kecil di rumah sedang aduhai. Bersamaan itu, mendapat tantangan dari teman di FB dalam acara #foodChallenge. Berdasar sirkumstansi ini....alhasil, saya yang  biasa nulis kalimat sok-sok filosofis, sok bijak, perenungan, status koplak ,nulis cuplikan cerpen,novel atau nulis puisi, tetiba rajin banget upload masakan plus resep dan tipsnya  “biar sedep” helehh gayanya. Preferensi saya adalah  masakan tradisional masa kecil dari kampung. Kebetulan sekali suami juga berasal dari sekitar Solo dan anak-anak pun sangat menyukai masakan Solo.
Nah ini masalahnya,  kadang saya tidak mengetahui resep masakan tradisional tersebut. Tetapi, sekarang ini teknologi canggih adalah salah satu “pelayan” manusia yang cukup setia, terutama yang bernama “Mbah Google”. Wih, beliau itu pintar dan ramahnya luar biasa, ditanya apa aja jarang tidak menjawab hihii… mengapa? Karena otaknya banyaaaakkkk banget. Tetapi dia tidak puya lidah seperti lidah kita sendiri,terutama kalau ditanya resep masakan. Jadi,jangan sepelekan lidah kita dan lidah mbah Wiro dan Bu Lek Warsi  ( disini saya nobatkan sebagai symbol orang masa lalu dari Solo  yang pintar memasak) .Oleh karena itu, biasanya saya mengumpulkan beberapa resep kemudian saya buat perbandingan sambil tanya sama kenangan si lidah tadi hihi. Seperti saat saya membuat nasi liwet. Saya ingat-ingat benar, rasa opornya sangat sederhana, jadi dari sekian banyak resep yang tersedia, saya memilih bumbu yang paling sederhana,karena yang” diingat lidah”  saya begitu hihi. Demikian juga saat saya membuat Srabi Solo (ada yang menyebut Srabi Inggris, duhh kok bisa gitu ya.. :D). Saat membuat masakan khas Betawi,yakni Semur, saya mengingat semur pelengkap  nasi uduk yang paling enak, saya biarkan lidah saya mengenangnya hihi. Dan menurut informasi dari salah satu pedagang langganan saya di pasar, orang betawi punya kecap favorit yang dipakai untuk membuat semur saat lebaran, nah saya pun  membeli kecap itu hehe…
Begitulah, kadang saya bisa “asal-asalan” soal makan, berlagak buaya yang ga punya lidah ( tapi kok ada tanaman lidah buaya ya). Tetapi, bila saya sudah niat banget memasak  bisa berlagak seperti juru masak kraton hag hag hag. Mungkin juga karena terlahir dari keluarga besar ,punya ibu yang  jago masak,rias pengantin,menjahit dan ngurus tanaman dan masih banyak lagi…jadi,sahih kan ya kalau saya bisa memasak dan feminin sebenarnya ( hadeuhh butuh pengakuan)  hehe. Walau anak ragil ( bontot) ,ibu saya tidak peduli, bontot disayang dan dimanja? wahh hukum itu tidak ada dalam kamus ibu saya. Malah ibu pernah  bilang," Kamu harus bisa pegang bolpen dan ulekan !" .Nah looo, mau apa kalau sudah begini?? Hihi... Jadi, masa kuliah dulu saya dapat giliran memasak ,bergantian dengan dua kakak saya. Walau kadang saya sering bandel, “mbolos” masak hihi.
Pernah, di masa kuliah saya dan teman-teman menunggu dosen datang, dengan penampilan saya yang saat itu menurut saya  sudah kece badai;  celana jeans bootcut, kemeja kotak-kotak warna gelap dan jilbab rajut hitam favoritku. Tetiba saya kaget saat melihat  kuku jari jempol saya , kok hitam. Hemm…rupanya kena getah kangkung, karena sebelum berangkat kuliah saya harus masak dulu hihi.
Demikianlah, penampakan luar saya memang sering diragukan, sering underestimated ga bisa masak. Di situ kadang saya merasa sedih. :D. Padahal ingatan lidah saya itu tidak buruk hihi...





2 komentar:

  1. Bicara masalah makanan Solo yang maknyus memang ngga pernah habis... Dan ngga bisa bohong bahwa Bunda kita dalam hal masak memasak punya nilai plus plus di hati kita ya mba.. boleh mampir juga ke blog saya ya

    BalasHapus
  2. Betul sekali Bunda, iya Bunda,,,insyaAllah akan mampir,terimakasih Bunda :)

    BalasHapus

Senyum Sang Guru

Sejak saat itu, ambisinya untuk membuat karya indah kian meruang. Namun, seolah sang ide bergegas pergi, mood meleleh.   Tumpukan buku, ...