Kamis, 05 November 2015

Catatan Istimewa

Seperti yang sudah-sudah, kami sering terlambat mengambil raport tepat waktu terkait urusan administrasi yang belum beres. Masih bersyukur,biasanya akan ada informasi dari teman,bahwa aku ranking satu,sementara adikku  ranking pertengahan ke bawah. Dia memang malas sekolah.
Awalnya,memang aku kecewa ketika tidak bisa mengambil hasil belajarku,berbeda dengan adikku, cuek saja. Namun,aku menjadi terbiasa ketika hal itu terjadi berulang kali. Aku teringat,pada saat saat adikku mengatakan, "santai saja Kak,yang penting kita sudah mendapat informasi, nilai kakak bagus dan ranking satu, sementara aku gak bisa dibilang dapat ranking !" kemudian dia terbahak,tak ada beban.Sambil tanganya terus  membelah bambu ,dia melanjutkan "Kakak hanya penasaran saja kan,berapa nilai kakak. Santai saja kak, itung itung kita sedang menunggu buka puasa, kecewa itu biasa tapi jangan larut dan menjadi rasa marah dan  tidak terima ,ayo kita bantu meringankan tugas orangtua kita ."
Rasa kecewaku seolah lebur dalam tawa dan ucapan adikku itu.Dia perempuan tetapi lebih logis. Puasa, larut dalam kecewa, tidak terima, meringankan orangtua ,kata-kata yang menyentuh kesadaranku. Saat itu juga, aku berniat untuk sering-sering  bertukar pikiran dengannya. Dia bisa berpikir sedewasa itu di usia 16 tahunnya,sementara aku 17tahun.
Aku bersyukur,kondisi ekonomi keluarga kami yang pas-pasan tidak menjadikan kami bermental "mengasihani diri sendiri " dan "minder" . Aku salut pada orangtuaku , dalam kondisi sulit tetap tenang,tidak banyak bicara bernada cengeng. Kami juga mengerti , mereka bukan tipe pemalas. Satu hal lagi yang aku fahami, waktu,tenaga,pikiran mereka tidak melulu untuk memenuhi isi dompet pribadi. Jika ada rizki lebih, tidak sekedar untuk meningkatkan gaya hidup sebagaimana sudah diyakini kebanyakan orang sebagai standart  "kemapanan". Ayah ibu banyak melakukan sesuatu untuk kemaslahatan sesama. Perdagangan dengan yang memberi hidup selalu membuatnya bahagia, semangat terus berkobar. Secara tidak langsung,hal itu ter-transfer pada kami. Sungguh, action speak louder than words.
Aku ingat, suatu ketika saat kami dalam kondisi kesulitan keuangan untuk makan,justru ayah mengajak kami berbincang tentang rumah yatim.  Mungkin bagi sebagian orang akan berpikir, ah ngurus anak sendiri saja belum beres mikirin anak yatim. Apakah kita takut bercita-cita dalam kondisi sulit?
Ayah mengatakan bahwa kami akan menjadi kakak bagi adik-adik yatim.Bagaimana tidak terbayang dibenak kami kesulitan anak yatim miskin ketika kita diajak berbincang tentang hal itu? Jika hanya dijejali nasehat,mungkin saja kita jemu. Sungguh makin kusadari betapa keren metode tersebut. Aku ingin menirunya,
Ibuku , juga istimewa di mataku. Ibu lebih disiplin dari pada Ayah. Tidak sesabar Ayah dalam menggiring kami. Tetapi, menurutku sebuah formula yang pas ketika bekerjasama dengan ayah dalam mendidik kami.
Saat itu,kesekian kalinya  kami dalam kondisi "paceklik" .Tetapi ibu selalu memiliki kreatifitas yang luar biasa mengolah apa yang ada untuk pengganjal perut kami.Suatu saat,sambil mengolah ubi yang kurang manis, ibu bertanya padaku, apakah definisi barang substitusi ? Aku pun menjelaskan seperti menjawab soal ujian.Geli sendiri aku mengingat hal itu. Ibu mengatakan, kadang kita mengalami deadlock karena tidak terbiasa berpikir tentang substitusi. Tidak berpikir out of box untuk urusan-urusan yang tidak prinsip dan fundamental. Tetapi justru sering main-main,neko-neko dengan urusan prinsip.Kotak pemikiran umum yang seolah benar,jangan sampai menyempitkan samudra jiwa kita sehingga menjadi tidak mutmainah. Hemm...diksi ibu sering membuatku mengernyitkan kening. Terkadang heran, kata-kata semacam itu keluar dari pemikiran seorang wanita berpenampilan ala kadarnya, sehari-hari berpakaian kain santung sederhana,bahkan kadang sudah lusuh. Tidak pandai berdandan. Saat  membincang hal itu , aku baru naik kelas 1 smu tetapi seolah  ibu berbicara dihadapan mahasiswa semester 3. Tetapi alhamdulillah,aku bisa memahami. Karena kami memang sudah terbiasa diajak berpikir,berdiskusi. Ibu pernah bilang, ibu tidak takut  aku dan adikku menjadi stress karena beliau dan Ayah sering mengajak berbicara banyak hal secara mendalam,hakiki. Kemudian ibu menyebut tokoh-tokoh seperti Muhammad Al Fatih,Salman al Farisi, Ali bin Abi Thalib, Usamah bin Zaid, Imam Bukhori, Bung Tomo,Jendral Sudirman,HOS Cokroaminoto, Sultan Hasanudin ,Diponegoro. Kata Ibu mereka semua sudah berbuat sesuatu untuk agama dan negaranya di usia muda. Hemm...ibu pun sangat fasih bicara sejarah. Sehabis berbincang dengan orangtuaku semangatku untuk melakukan sesuatu atas nama ketundukan kepadaNya,pengabdian padaNya senantiasa membuncah.
Aku pernah mengajukan pertanyaan usil, mengapa ibu dan ayah tidak pernah bertengkar. Kata ibu sambil bercanda,apa perlu anak-anak tau?,kalau perlu,ibu akan segera memulainya. Aku tertawa,diplomatis sekali ibuku. Kemudian ibu mengatakan, kadang pertengkaran itu terjadi karena perbedaan yang tidak prinsip tetapi kenakalan ego ,hawa nafsu, menjadikan seolah penting dan prinsip. Kata ibu,itulah perlunya kita memiliki acuan untuk melihat mana yang prinsip mana yang bukan. Bukan acuan yang dibuat atas sebuah kesepakatan antar individu semata tetapi acuan yang nyata kebenaranya. Perbedaan tidak prinsip menjadi debu manakala kita memiliki pandangan dan misi jauh kedepan. Jika tangis,gelisah,sedih,marah,kernyit kening melulu keluar dari lingkar-lingkar ego dan kembali  untuk memuaskan ego semata,kita perlu belajar lagi untuk mengenal diri. Siapa kita ini?. Manusia,ya..manusia,kabarnya DNA manusia lebih dekat dengan Simpanse dari pada Simpanse dengan Gorilla. Oh...betapaaaa...jika Rabbal Alamin tidak membekali Akal dan petunjuk pada manusia.
Ah,pikiranku sudah kemana-mana.Ya Rabb, terimakasih atas segala nikmatMu.
                             Di kamarku  1997
Aku terkejut ketika istriku tiba-tiba menepuk bahuku.  Aku menutup buku Diaryku. Istriku mengernyitkan dahinya,sambil memandang diary lusuh itu...ya,diary masa kuliah semester 3 yang tak sengaja kutemukan di tumpuka. buku lama.
Istriku tersenyum membaca tulisan itu...mungkin dia lega,yang kubaca bukan kenangan lama dengan seorang teman istimewa.
selesai
Pekayon ,5 November 2015
Zaa (Amadia Raseeda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Senyum Sang Guru

Sejak saat itu, ambisinya untuk membuat karya indah kian meruang. Namun, seolah sang ide bergegas pergi, mood meleleh.   Tumpukan buku, ...