Kamis, 05 November 2015

Cerita di Kereta

Kabar tentang penertiban stasiun sudah lama kudengar. Namun,baru beberapa hari lalu,aku bena-benar mengamati perubahan itu. Berarti sudah cukup lama aku tidak naik kereta dalam  kota (KRL/COMMUTERLINE) maupun kereta luar kota.

Sistem pembelian tiket menggunakan kartu berjaminan dan sepi pedagang asongan di dalam stasiun....itulah dua hal yang paling saya rasakan. Dulu, bila tidak sempat membawa kopi atau makanan untuk sarapan,biasanya kami membeli fresh kopi di sebuah minimarket. Kemudian duduk santai sembari menunggu kereta sekaligus menunggu penjaja kue.Demikian juga saat pulang. Biasanya sudah tiba makan siang.  Gampang...banyak penjaja pecel,lontong,gorengan,tahu sumedang dan berbagai minuman.
Sekarang...mereka semua tidak ada. Yang masih ada dan bahkan makin banyak jumlahnya adalah resto-resto franchise dengan masakan "ala sono"..., bukan ga doyan, tapi mahal dan bukan selera kami.

Kemana pedagang pecel itu sekarang ? Di luar stasiun pun aku tidak menjumpai,apakah mereka alih profesi? atau mencari lahan baru?

Tergeser....itulah kata yang tepat,entah apapun usaha mereka sekarang. Resto modern lebih berkuasa...

Sayapun menghayal ..ada tempat khusus yang bagus,layak untuk pedagang pecel dan gorengan itu, ada satu ruangan lagi,khusus untuk pedagangan asongan nonfood.

"Silahkan duduk Bu!" kata seorang pemuda tanggung.

"Terimakasih ya Nak !" kataku sambil tersenyum. Lega rasanya.

Dia berjongkok disamping tempat dudukku,berpegangan tiang yang menyatu dengan tempat duduk. Dia mulai bertanya,aku hendak pergi kemana,tinggal di mana,berapa anakku...
Aku menjawab hendak ke Jatinegara dari Bekasi. Selebihnya,aku tak bisa banyak cerita. Tak terasa air mataku menelaga..
Kereta berhenti di stasiun Jatinegara,aku bergegas turun.Namun kulihat pemuda itu juga turun,padahal dia mengatakan akan ke Kota Tua. Dia memanggilku, berusaha menghampiriku,mencari jalan  diantara kerumunan penumpang .

"Bu,maafkan saya, mengapa tadi ibu tampak menangis? Karena pertanyaan saya ya Bu?" katanya sambil menggeggam tanganku dengan wajah sendu dan sesal.

Air mataku kembali meleleh. Akhirnya kami mencari tempat duduk di salah satu tempat makan, Aku menjelaskan semuanya.  Pemuda itu berkali kali meminta maaf padaku.

"Bu,jangan sedih..anggaplah aku pengganti anak ibu.." katanya.

Dia mengurungkan niatnya pergi ke Kota Tua,rela menemani wanita tua yang  sudah lama menjanda dan kehilangan putra tunggalnya.
Sepanjang jalan kami masih melanjutkan pembicaraan. Ternyata dia memiliki pemikiran yang sama denganku tentang penertiban stasiun.Yang lebih mengejutkan....ayahnya dulu adalah mahasiswaku saat aku masih menjadi dosen di fakultas Fisip di salah satu perguruan tinggi negri.

Dunia memang sempit dan sesaat, samudra keikhlasan dan ketawadu'an pada sang khaliq yang bisa meluaskannya dan mbuatnya bermakna.

Pekayon 6 November 2015

Zaa ( Amadia Raseeda),

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Senyum Sang Guru

Sejak saat itu, ambisinya untuk membuat karya indah kian meruang. Namun, seolah sang ide bergegas pergi, mood meleleh.   Tumpukan buku, ...