Jumat, 11 Mei 2018

Menulis Fiksi Bukan Sekedar Berfantasi

Fiksi Tak Sebatas Fantasi .

Bincang panjang dengan "para penjaga jiwa" ,para mentor,para coach kehidupan membuat saya perlu menulis ini...

Katanya menulis adalah salah satu terapi jiwa. Baik menulis fiksi maupun non fiksi.

Sebuah kisah fiksi,kadang terilhami dari sebuah kisah nyata, baik dari kisah yang dilakoni si penulis sendiri atau kisah orang lain yang menyentuh hati dan mengusik pikiran si penulis.
Itu sangat wajar,biasa dan syah saja

Penulis akan lebih menjiwai ketika menuliskan  pengalamannya, perjalanan hidupnya,perjalanan batinnya sendiri (ya iyalah ya 😜).
Biasanya, penulis tidak menuliskan persis seperti yang dialaminya. Ada sepenggal,dua penggal yang di-dramatisasi atau justru dikurangi bisa juga diperhalus. Namun mungkin ada  pula yang hampir dalam setiap alurnya di-dramatisasi. Sekali lagi,syah saja menurut saya. Namun berfiksi tidak sebatas berfantasi tanpa kontrol emosi.

Kisah yang diangkat dari pengalaman pribadi tentu saja melibatkan  beberapa tokoh di dalamnya. Menurut saya,ini point yang perlu diperhatikan oleh si penulis.Dalam artian,  penulis harus berhati-hati jangan sampai apa yang ditulis jatuh pada fitnah, ya FITNAH dan mungkin bisa berujung pada pembunuhan karakter.  Jika toh memang benar adanya, disinilah kecerdasan penulis teruji bagaimna bisa mengemasnya sebaik mungkin. Namun itu saja juga tidak cukup,di sini.juga kecerdasan emosi penulis teruji. Meredam gejolak emosi memang bukan perkara mudah.

Boleh jadi kisah yang kita tulis ketika ter-publish berlabel Fiksi, namun bukan fiksi bagi sebagian (beberapa orang) yang terlibat dalam kisah nyata yang kita "fiksikan"  itu. Bagaimana jika para tokoh protagonis maupun antagonis membacanya jika kita tidak pandai-pandai meraciknya dengan bijaksana?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Senyum Sang Guru

Sejak saat itu, ambisinya untuk membuat karya indah kian meruang. Namun, seolah sang ide bergegas pergi, mood meleleh.   Tumpukan buku, ...