Senin, 04 November 2019

Senyum Sang Guru


Sejak saat itu, ambisinya untuk membuat karya indah kian meruang. Namun, seolah sang ide bergegas pergi, mood meleleh.  Tumpukan buku, majalah hingga komik tak jua membuat syaraf otaknya menemukan sambungan hingga mulutnya bisa berucap  “ Eureka!” . Coklat, kacang almond hingga tiga tangkai yellow daffodils  yang sengaja diletakkan di mejanya dalam vas bening tinggi hexagonal tak jua membangkitkan moodnya.
Angin berpuput menyentuh kulitnya. Kini dia berpikir tentang alam; angin,burung yang berwarna coklat atau hijau zaitun, gemawan aneka bentuk, kabut, sungai, pepohonan, tanah coklat, hamparan anemone merah. Tiba-tiba muncul kembali seraut wajah dengan  senyum ketenangan. Menyeruak  diantara lukisan imaginernya.
            “ Guru Tali Jiwo !” gumamnya.
 Ambisinya kembali meruang, meranapkan semua lukisan imaginernya. Sejak setahun yang lalu, gurunya hijrah ke sebuah desa yang masih asri.
Dia bergegas….

**
“ Guru, bantulah aku ! Berapapun yang kau inginkan aku berusaha memenuhinya asal kau buatkan aku sebuah karya yang indah  !” jelasnya sambil duduk bersila dihadapan gurunya yang juga duduk bersila.
Tali Jiwo tersenyum, dia mulai menghirup aroma teh sambil memejamkan matanya. Sang murid memandangnya dengan raut tidak sabar, menunggu jawaban.
Sudah ke tiga kalinya dia menemuinya  dengan maksud yang sama, tetapi Tali Jiwo selalu menolak secara halus.
“ Guru, mengapa sejak tadi guru tidak segera meminum teh itu?”
Tali Jiwo kembali tersenyum, kini matanya terbuka dan menatap muridnnya dengan tajam.
“ Dengar Nak, segala hal membutuhkan proses dan menikamati sebuah proses adalah salah satu bentuk kebijaksanaan dan kesabaran !”
Sang murid diam, Tali Jiwo mulai menyeruput teh dari cangkir kaleng bercorak doreng hijau putih.
“Walau sekedar menikmati secangkir teh !” tambahnya.
Sang murid hanya diam namun tampak seiris tipis kegelisahan  yang mulai mengendap-endap. Dia mengaitkan jemari dari dua tanganya. Sementara di luar padepokan itu, petang mulai menjawat terang.
“Bagaimana Guru ?”
Tali Jiwo kembali tersenyum. Dia bangkit dari tempat duduknya, melipat tangannya di dada, melepas pandangannya sejauh mungkin dari rumahnya yang terletak di atas sebuah bukit penuh bunga. Sementara Sang murid mengikutinya dengan pandangan mata saja, dia masih duduk ditempatnya menanti jawaban.
“Sebelumnya, aku ingin bertanya  !” kata Tali Jiwo dengan intonasi datar
“Silahkan guru…!”
“Apakah kau sudah berusaha membuat sebuah karya dari tanganmu sendiri?”
“Sudah guru, namun kemudian macet. Semua ide seolah bersembunyi!”
“Mengapa bisa demikian ?”
“Emmmm…emmmm entahlah guru !”
“Coba kau ingat baik-baik….!” kata Tali Jiwo dengan tegas, Sang murid tampak grogi sambil berusaha mengais-ngais ingatannya.Namun dia tak jua menemukan jawaban.
“Baiklah kubantu mengingat… ketika ide itu mulai mendekat, apa yang kau pikirkan?”
“ Aku  sangat bahagia, aku segera menulis kemudian aku  membayangkan aku akan menjadi terkenal dengan karyaku..!” jelasnya.
“ Emmm…itulah  yang membunuh ide kreatifmu , Nak !” kata  Tali Jiwo , Sang murid hanya tertunduk pipinya sedikit panas.
“ Ya sudahlah…lalu, siapkah kamu dengan segala resikonya bila aku memenuhi permintaanmu?” tanya Tali Jiwo kemudian, pandangan matanya masih pada obyek yang sama.
“Resiko? Ah..Guru bercanda, resiko yang sangat menyenangkan bukan? tentu saja aku siap Guru !” jawabnya sambil tersenyum kemudian menghampiri gurunya. Tali Jiwo bergeming.
“ Pulanglah, ku kabulkan permintaanmu !”
Sang murid bergegas pergi,
**
Beberapa bulan kemudian….
“Guru, mengapa guru tidak memperbaiki rumah guru? bukankah…. !”. Sang murid merasa sungkan melanjutkan …
“ Lau akan mengatakan….bukankah kau telah memberikan sejumlah uang yang banyak padaku karena aku menulis sebuah karya indah untukmu?” tanya Tali Jiwo
Sang murid mengangguk perlahan, tak berani menatap mata Sang Guru. Tali Jiwo tersenyum.
“Aku sangat menikmatinya Nak !” jelasnya kemudian.
“T…tapi, mengapa eh…maaf, mengapa rumah guru masih saja seperti ini? “ tanya Sang murid memberanikan diri.
 Tali Jiwo lagi-lagi hanya tersenyum. Sesaat kemudian..
“Mari ku tunjukkan sesuatu ..!” ajalnya sembari bangkit dari duduknya kemudian berjalan keluar , menaiki bukit .
“Guru, kita akan kemana?” tanya Sang Murid.
Tali Jiwo terus berjalan tanpa menjawab pertanyaan muridnya. Beberapa saat kemudian dia berhenti di sebuah rumah berdinding bambu namun lebih indah dibanding rumahnya.
“Lihatlah !” kata Tali Jiwo sambil tersenyum.
“Ohh..jadi Guru sudah membuat rumah baru ini? Mengapa Guru tidak segera menempatinya?” tanya Sang murid.
“Ini bukan rumahku !” jawab Tali Jiwo . Si murid mengerutkan keningnya.
Sebelum Sang Murid memberondongnya dengan pertanyaan, Tali Jiwo menambahkan…
“Sejumlah uang  yang kau berikan beberapa waktu yang lalu, kugunakan membangun padepokan ini, mari masuklah !” Tali Jiwo bergegas membuka pintu rumah itu meninggalkan Sang Murid  yang masing mematung.
Beberapa buku tertata rapih di rak-rak dari kayu jati yang kokoh. Ada sebuah peta dunia yang besar tertempel di dinding. Hanya ada beberapa meja dan kursi, selebihnya hanya hamparan tikar pandan yang menebar aroma harum yang eksotik.
“Setiap hari ada saja yang datang ke padepokan ini, terutama anak-anak muda..saya sangat bahagia dan yang lebih menggembirakan, mereka sangat antusias ketika ku tawarkan pada mereka tentang  ketrampilan menulis. Hampir setiap hari mereka datang untuk membaca buku dan belajar menulis .”
Tali Jiwo tersenyum, Si Murid membisu. 

Tali Jiwo tersenyum getir benaknya berkata…
Biarlah, aku menuruti kemauan satu murid yang berambisi asalakan aku bisa membimbing puluhan  murid yang sangat menikmati sebuah proses. Mungkin baru sampai disitulah perjalanan batinnya…semoga dengan pengalaman  yang baru saja diihatnya, dia akan berubah.



Solo 2012

Jumat, 01 Februari 2019

Batas Pandang Mata Kepala


Talita merasa kesal melihat Evita  duduk-duduk saja  sambil memandangi taman dari balik jendela kamar.

" Ahh, aku sayang melewatkan waktu tanpa melakukan sesuatu...tanpa menghasilkan sesuatu...."
Kata Talita selepas mengerjakan tugas-tugas kuliahnya.Tak lama kemudian menyambar rajutan tas yang belum kelar.

Evita hanya tersenyum tipis, kemudian melanjutkan acaranya, yakni melamun.
Gemericik hujan tipis-tipis, daun hijau,daun kuning, bau tanah, angin yang menyentuh kulitnya seolah semua itu masuk dalam jiwanya menjadi rajutan keindahan yang membuat jiwanya segar dan bugar. Perasaan syukur yang dalam melesak dalam sanubarinya. Betapa, selama ini dia terlalu banyak melewatkan nikmat Tuhan, begitu bisiknya dalam hati.

Melihat serombongan semut menggotong makanan bersama, hati Talita tersentak.

Melihat burung-burung kecil beterbangan mencari rumput kering untuk jadikan sarang, hatinya bergetar.

Talita masih dengan kesibukannya, sesekali melirik Evita dengan perasaan kesal. 

"Heh....,kamu itu...jangan kebanyakan melamun, ga baik, ga manfaat, kerasukan setan lohhh kamu nanti !"

"Masak sih....?" kata Evita santai

"Iya,melamun tu ga baik. Ayo bergerak,lakukan sesuatu hasilkan sesuatu !" kata Talita

"Aku menghasilkan sesuatu kok !" kata Evita

"Ahh,kamu ngacoo....mana,kamu menghasilkan apa?" Tuu kan kerasukan setan nih...!"

Evita hanya tersenyum dan membatin, sebenarnya,siapa yang kerasukan setan?

πŸ€πŸπŸŒΉπŸŒΈπŸŒΌπŸŒ»πŸŒΎπŸŒΏ

Setiap orang membacamu dengan pengalaman dan pemahaman yang berbeda...

Mempertajam pandangan mata batin sangatlah bijak dalam gelombang materialism yang kian dahsyat ...

Senin, 08 Oktober 2018

Ruang Hati


Selamat datang di ruang hatiku
Semua mahluk Allah
tanah dan keindahannya
Bunga dan wanginya
Air dan ombaknya
Api dan panasnya
Udara dan kesegarannya
Binatang dan otaknya yang tak teraliri akal
Selamat datang manusia yang mencintai
Selamat datang manusia yang membenci
Selamat datang manusia yang berilmu
Selamat datang manusia yang penuh tipu
Selamat datang manusia yang bijaksana
Selamat datang manusia yang durjana
Selamat datang manusia yang berhati-hati
Selamat datang manusia yang mengkhianati
Selamat datang manusia yang penuh perhatian
Selamat datang manusia yang mengabaikan
Selamat datang semua di ruang hatiku
Namun izinkan aku memiliki sudut pandang, titik pandang, jarak  pandang, resolusi pandang dan batas pandang atas semua yang hadir di ruang hatiku
Agar aku merdeka,berdaulat atas diriku
Agar aku tak berhenti pada titik,tak berdiri miris pada garis,tak terjebak dalam kotak
Dan agar aku sanggup memaknai bahwa tak ada yang sia-sia atas segala ciptaanNya
Hasbunallah wani’mal wakil,ni’mal maula wani’man nashir
Laa haula walaa quwwata illa billah

*Sebuah puisi,ektraksi dari pelajaran hidup salah satu guru terbaik






Selasa, 26 Juni 2018

Action Speak Louder Than Words

"Kalian ini generasi muda, harus kreatif...lihat tuh si x begini,si y begitu..!" bla.bla...bla...


Saya berusaha menyimpan saja kata-kata itu. Lalu berusaha lagi, memilih melakukan sesuatu. Action speak louder than words.
Terus terang,liburan panjang begini,sebagai ortu saya harus memutar otak agar liburan benar-benar bermanfaat. Karena kami tidak selalu mengisinya dengan jalan-jalan atau piknik...

Yag dibutuhkan anak-anak adalah teladan,role model,contoh , bukan sekedar kata-kata.
Mengajak mereka tanpa memaksa tak mau atau belum mau juga tak mengapa. Tak ada yang hilang ,insyaAllah.

Niatkan,apa yang kita lakukan adalah bagian dari ibadah, mendidik anak. Berdo'a  agar apa yang kita lakukan tertransfer pada anak-anak kita.  Apa yang kita lakukan melesak ke dalam alam bawah sadar mereka. Berharaplah padaNya,suatu saat nanti akan berguna bagi mereka.
Allah Maha pendidik,kita kan hanya perantara. Selesai...

*simpleparenting

*Foto adalah hasil kreasi beberapa hari ini. Memanfatkan barang bekas:

πŸ’‘Tempat kornet itu warnanya sudah bagus,tak perlu diwarna ,tiggal disatukan dengan isolasi bergambar

πŸ’‘Toples kue lebaran dimanfatkanuntuk menyimpan peralatan jahit. Cuma ditumpuk aja. Tutup paling atas dihias dengan kain perca (bekas seragam sekolah nak2 dulu) dan bunga dari kain (yang ini bros yang saya ambil bunganya



)

πŸ’‘Botol air mineral potong sesuai ukuran tissue roll ,hiasi dengan kain perca dan pita. Pitanya juga dapat dari hiasan pada kotak suvenir pengantin  kok.😜

Selamat beraksi,berkreasi,selamat mengolah otak kanan. Selamat menjadi role model ..


Senin, 11 Juni 2018

Tidak Tahu Kadang Membawa Kebaikan

Ini bukan soal ilmu agama.

Ceritanya....
Tadi saat bermotor melirik spion,uhh perasaan bekas cacar saya makin kentara,mugkin karena makin tua,pori-pori juga melebar. Ada sedikit perasaan gimaaa gitu (agak menyayangkan dan risih terus ingat,kalau harus perawatan ya mahal hahaaa...)  tapi segera beristighfar , rasanya kok ga penting banget saya punya perasaan seperti itu.

Mengapa ??

Bekas luka itu karena cacar air yang saya alami ketika saya hamil anak ke 3 dan saya masih punya bayi anak ke 2 πŸ™ˆπŸ™ˆ.

Setelah sekian tahun berlalu,saya baru tahu, secara teori ,terkena cacar air ketika hamil cukup berbahaya bagi ibu dan janin. Betapa..dari bekas luka itu seharusya saya lebih banyak bersyukur bukan ngelantur *ehh

Saat itu,saya memang pergi ke dokter,tapi saya lupa memberitahu  bahwa selain saya punya bayi 7 bulan, saya juga sedang mulai mengandung  anak ke 3 😜😜.

Namun....Ahamdulillah saya sembuh,bayi tetap sehat dan bayi dalam kandungan saya baik-baik saja,lahir dengan cara normal dan tidak ada kelainan apa-apa.

Bayangkan jika saya mengerti bahayanya terkena cacar air saat hamil,entah berapa persen tentu stress. Dan hal itu memicu hormon stress yang bisa menurunkan daya tahan tubuh. Lalu....,tau sendirilah ya,betapa signifikan faktor stress terhadap kesehatan. Begitu juga kan, kata dokter Agus yang sangat lucu itu...

Kasus ke dua ,saya terkena DB ketika anak ke tiga saya berumur sekitar 1th.

Yang istimewa (istimewa ndablegnya 😜 ) saya tidak sadar (tidak ngeh)  kalau saya terkena DB πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜œ. Saya pikir demam biasa.  Diagnosanya malah gejala tipus. Tapi setelah minum obat beberapa hari,tidak ada perubahan. Saya balik lagi ke dokter ,barulah diberi pengantar untuk tes darah (lucunya pengantarnya saya suruh tes S******, ntar lah dikisah yang lain)

Siang itu juga saya tes darah ke RS terdekat. Ada bercak merah tp melebar di lipatan tangan saya. Suster cuma tanya,kenapa ini Bu? Saya jawab, tidak tahu mungkin  gatel ,ruam,iritasi karena tidak mandi beberapa hari.
Saya pun pulang, karena hasil tes darah masih besok  katanya.

Malam harinya,badan saya semakin tak karuan. Saya bilang ke suami bahwa saya mau opname malam itu juga,sudah ga kuat.
Suami langsung mengiyakan dan bersiap.  3 batita kami bawa serta ke RS 😜😜. Tidak ada asisten rumah tangga saat itu. Mau gimana lagi??

Masuk IGD, dokter tanya

"Ibu, tangannya kenapa ini?

"Ga tau dok,gatel mungkin " jawab saya santai sambil sesekali melihat anak saya dari balik kaca IGD. Merek dihandle salah satu teman.

"Gatel !! ,ibu DB ,ga boleh pulang,harus opname ,trombosit ibu cuma 11ribu !"

" Oh....gitu? ok dok,memang saya maunya opname !"

Kurang lebih begitulah dialog saya dengan dokter saat itu. Saya pikir-pikir, sama-sama gokil nih dokter dan pasien πŸ˜‚ 😜😜.
Hemm dan saat itu baru ingat...beberapa warga komplek terkena DB bergantian.

Suami langsung memilih kamar VIP. Ciee gaya... demi gengsi ya?
Bukan....percaya deh,bukan tipe kami suka gengsi-gengsian haha. Ada alasan lain ; demi tiga batita mendapat tempat istirahat yang nyaman dan orangtuanya juga nyaman πŸ˜‚πŸ˜œ.
Lagi pula, saat itu kan bisa dapat ganti dari kantor (walau ternyata tidak dapat karena kendala teknis hihiii )

Kembali ke pokok pembahasan. Bayangkan kalau  saat itu saya  langsung  tahu kena DB, entah berapa persen pasti ada kaget lalu pikiran,cemas ..,gimana nih batita 3,gimana nih ga ada asisten yang bantu,duh..trombositku makin turun nih kayaknya bla bla bla macam-macam pikiran. Ujungnya, kikkk (dr Agus mode on ).πŸ˜‚πŸ˜‚

Begitulah yang saya maksud kadang-kadang tidak tahu itu membawa kebaikan.Tidak tahu dalam hal tertentu KADANG justru tidak memicu stress dan perasaan-perasaan negatif. Tetap netral,khusnudzon.

Namun sungguh,semua itu tak lepas dari skenario Allah....


Semoga bermanfaat...



Rabu, 06 Juni 2018

Siapa Kamu


"Siapa kamu? "

"Hamba ALLAH !"

Ketika pertanyaan itu sampai pada orang ke tujuh, jawabannya sama.

"Mantep-mantep ya jawabannya !" kata beliau sambil manggut-mangut dan tersenyum tipis tapi tidak sinis.

"Hamba ALLAH, kayak waktu sedekah,supaya tidak ketahuan, terus pakai nama Hamba ALLAH. Gitu ya?"

Aku mengulum tawa,bukan senyum. Merasa,sebentar lagi bakalan ada "jlebmomen". Namun aku menunggu,ya menunggu "jlebmomen" itu.

Benar saja...

"Kalian pikir, saat kalian mengaku Hamba ALLAH ,kalian merendah gitu? Bukan... itu meninggi !"

Eng ing eng,aku terkikih -kikih pelan. Senang, Adrenalin melonjak,entah bagi yang lain. Aku merasa ucapan beliau seperti pahitnya kopi,pare atau leuncak. Pait-pait segar tapi nikmat dan bermanfaat.
Buktinya, tanda tanya memenuhi kepalaku, rasa ingin tahuku membengkak.
Beliau menyeruput kopinya kemudian menyapukan pandangnnya pada kami.

Segan tapi tidak takut ,serius tapi santai, itu yang kurasakan setiap kali mencari ilmu dengan beliau.

"Kalian sudah mengerti siapa itu Hamba ALLAH ?"

Aku menunduk sambil mencorat-coret bukuku. Antara berpikir dan menertawakan diri. Antara takut ditanya dan ingin segera mendapat jawaban. 

Ah,segera mendapat jawaban? kemungkinannya sangat kecil. Beliau bukan orang yang suka menjejalkan ilmu. Mantik beliau tinggi. Beliau akan mengajak membuat alur berpikir yang bisa diterima oleh yang berotak encer maupun biasa saja seperti aku.

Jika saya akan memberikan beras untuk kalian ,tentunya kalian harus mempersiapkan karung,bukan botol air. Jangan terburu-buru,ikuti tahapannya.

Kamu bisa menjawab?" tanya beliau sambil mendekat ke mejaku.

Aku terpelengak,lamunanku buyar.

"Em...em...hamba Allah adalah..

Akhirnya aku menggeleng lemah "Tapi maaf guru,mengapa guru mengatakan bahwa mengaku hamba Allah adalah meninggi?" tanyaku

Beliau tertawa kecil "Ditanya malah balik bertanya." kata beliau sambil berjalan menuju mejanya.
Aku menarik nafas, sedikit deg-degan.

Beliau duduk di kursinya kemudian menyeruput kopinya lagi.

"Bagus,pintu masuk ilmu adalah pertanyaan dan itu pertanda kita berpikir,tapi akan saya jawab nanti !"

Aku membuang nafas lega kemudian mengangguk sambil tersenyum.

" Yang lain,ada yang bisa memberikan penjelasan, siapa hamba Allah ?" tanya beliau lagi.

Hening untuk beberapa saat. Akhirnya Guru menunjuk secara acak.

Aku mendengarkan dengan seksama jawaban mereka. Entah mengapa hati tak terpuaskan , aku merasakan semua jawaban itu bukan bahasa jiwa.

Aku mendesah, beristighfar dan mengomeli diriku sendiri mengapa aku merasakan seperti itu.
Guru tersenyum "Bagus, hafalan kalian bagus !" .

Aku tertegun ,hafalan??? Guru mengatakan hafalan??? Aku jadi berpikir,apakah maksud ucapan Guru seperti yang kupikirkan tadi? .

 "Sebenarnya saya ingin jawaban apa adanya ,kita di sini bukan sedang akan bicara teori,tapi mengevaluasi langkah kita " jelas Guru

. "jlebmomen" kualami lagi,daya gedor kalimat Guru dahsyat bagiku.Aku melirik sekitarku, ada yang nyengir,ada yang datar saja ,ada yang masih melongo,mungkin seperti aku setengah menit yang lalu.

"Ok...sebelum kita lanjutkan,saya akan menjawab pertanyaanmu tadi !"kata Guru sambil melihat ke arahku. Aku mengangguk pelan.

"Mengaku hamba Allah adalah meninggi karena memang kedudukan itu tinggi. " .

Aku menarik nafas kemudian membuangnya perlahan.Hati terpuaskan,singkat namun mengena. .

"Jadi,bagaimana? kau sudah bisa menjawab,siapa hamba Allah?" tanya Guru kepadaku.

Deg...,kupikir aku sudah lolos dari pertanyaan itu. Seketika aku menunduk.

"Angkat wajahmu Nak Fathih!" kata Guru.


Bersambung..


Jumat, 11 Mei 2018

Menulis Fiksi Bukan Sekedar Berfantasi

Fiksi Tak Sebatas Fantasi .

Bincang panjang dengan "para penjaga jiwa" ,para mentor,para coach kehidupan membuat saya perlu menulis ini...

Katanya menulis adalah salah satu terapi jiwa. Baik menulis fiksi maupun non fiksi.

Sebuah kisah fiksi,kadang terilhami dari sebuah kisah nyata, baik dari kisah yang dilakoni si penulis sendiri atau kisah orang lain yang menyentuh hati dan mengusik pikiran si penulis.
Itu sangat wajar,biasa dan syah saja

Penulis akan lebih menjiwai ketika menuliskan  pengalamannya, perjalanan hidupnya,perjalanan batinnya sendiri (ya iyalah ya 😜).
Biasanya, penulis tidak menuliskan persis seperti yang dialaminya. Ada sepenggal,dua penggal yang di-dramatisasi atau justru dikurangi bisa juga diperhalus. Namun mungkin ada  pula yang hampir dalam setiap alurnya di-dramatisasi. Sekali lagi,syah saja menurut saya. Namun berfiksi tidak sebatas berfantasi tanpa kontrol emosi.

Kisah yang diangkat dari pengalaman pribadi tentu saja melibatkan  beberapa tokoh di dalamnya. Menurut saya,ini point yang perlu diperhatikan oleh si penulis.Dalam artian,  penulis harus berhati-hati jangan sampai apa yang ditulis jatuh pada fitnah, ya FITNAH dan mungkin bisa berujung pada pembunuhan karakter.  Jika toh memang benar adanya, disinilah kecerdasan penulis teruji bagaimna bisa mengemasnya sebaik mungkin. Namun itu saja juga tidak cukup,di sini.juga kecerdasan emosi penulis teruji. Meredam gejolak emosi memang bukan perkara mudah.

Boleh jadi kisah yang kita tulis ketika ter-publish berlabel Fiksi, namun bukan fiksi bagi sebagian (beberapa orang) yang terlibat dalam kisah nyata yang kita "fiksikan"  itu. Bagaimana jika para tokoh protagonis maupun antagonis membacanya jika kita tidak pandai-pandai meraciknya dengan bijaksana?

Senyum Sang Guru

Sejak saat itu, ambisinya untuk membuat karya indah kian meruang. Namun, seolah sang ide bergegas pergi, mood meleleh.   Tumpukan buku, ...