Sabtu, 05 Maret 2016

Renjana di Bulan Maret



Maret, bulan ketiga dari tahun Masehi.bagiku adalah awal dari sebuah novel. Mungkin karena cita-cita terindahku adalah menjadi seorang penulis yang berkualitas. Setiap momen penting senantiasa merangsang otakku dan jariku untuk menulis dan menulis.  Seorang pangeran tampan bersayap besi itu datang berkalung bunga, mengucapkan ikrar suci yang mampu menggetarkan langit kemudian melingkarkan logam mulia  dijariku yang berkaus tangan putih. Kulingkarkan tanganku ditangannya menuju singgasana  berbunga. Gaun putih  menjulur menyentuh lantai, bunga di tanganku. Senyum kami adalah bunga mawar merah, mata kami adalah berlian, jiwa kami Bening,.langkah kami diiringi musik yang Harmoni. Semua memandang kami dengan Ekspresi musim semi. Mungkin demikian momen 5 Maret 2000 itu bila dibahasakan dalam aroma sastra.  
Ibuku seorang perias pengantin, namun beliau tak sempat lagi untuk meriasku.saat hari penikahanku, aku harus dirias salah satu kenalan ibuku.  Kain tenun, kebaya bruklat, jilbab dan sandal tinggi  bernuansa warna  “millennium” sudah dipersiapkan. Salah satu kakak perempuanku memantaskan penampilanku, Ibu sesekali mengawasi kerja asisten pribadinya itu.

Akhirnya lelaki berkulit coklat, berambut ikal, berhidung mancung tapi sedikit lebar, bermata tajam, bertinggi sedang, berjenis suara bass itu mengucapkan sebait  sumpah suci. Sumpah yang mampu mengheningkan suasana, menegakkan bulu kuduk, menggetarkan jiwa dan melelehkan kristal-kristal airmata. Akhirnya Syah telah kami genggam, Ku cium punggung tangannya dan  dia mencium keningku. Ada getaran  laksana kantata indah di jiwa. Dia tersenyum menatapku. Pengabadi momen  tak henti-hentinya membidik kami dengan lensa ajaibnya.. Menata kami dalam berbagai pose dan tempat.  Tiba  saatnya  aku  harus  berganti  kostum. Gaun  pengantin  berwarna putih dan  indah  
koleksi terbaru milik ibuku, ku kenakan. Sementara topi indah yang  bertengger dikepalaku adalah  hasil karya tangan terampil kakakku. Aku kembali berjalan menemui tamu undangan kemudian aku harus berfoto kembali dalam berbagai pose dan tempat. Yang ada dalam benakku saat itu, apakah seperti ini rasanya menjadi model? Dan aku merasa Laksana Diva. Acara pun usai, sekitar satu jam kemudian air dari langit jatuh ke bumi,. Apalagi yang bisa kami ucapkan selain kata syukur. Bisa dibayangkan betapa suasana menjadi kurang nyaman bila hujan turun saat acara resepsi pernikahanku belum usai..



Detik, menit, jam dan hari berkejaran menuju warsa. Tanpa terasa satu tahun lebih kami menikah. Di bilik perjuangan kami yang sederhana,  suka, duka, asa terkarih dalam bejana jiwa kami. Sampailah pada suatu peristiwa, aku tak mampu lagi berkata. Hanya ada seringai kesakitan, peluh yang deras menyeruak dari pori-pori kulitku, lantunan degup jantung yang tak Harmoni. Hari itu keluarga sedang berkumpul karena sehari sebelumnya ada peringatan 40 hari wafatnya ibu mertuaku. Aku segera dilarikan kerumah sakit bersalin terdekat
Akhirnya, hari itu, tanggal 4 Maret 2002 pukul 19:00 aku melahirkan putra keduaku dengan berat 4,1 kg dan panjang 52 centimeter. Seorang bayi yang besar, tampan, berhidung mancung, berkulit bersih dan ber pipi “bakpao” dalam dekapanku.
            “ Mas, hari ini tanggal 4 Maret, bukankah kita menikah tanggal 5 Maret ? Dia adalah kado ulang tahun pernikahan kita yang kedua !” Suamiku tersenyum, sisa-sisa kecemasan diwajahnya mulai pudar digantikan oleh rona bahagia.
Tubuh mungil yang lahir di bulan Maret  telah mendekati usia 7. Dia telah menjadi seraut wajah yang seolah potret masa kecilku, walau dia laki-laki. Ceria wajahnya, saat teringat beberapa hari lagi dia akan berulang tahun ke 7. Tawa dan canda kami tehenti saat aku mendengar dering telephone.
            “ Dik, Mbak Ais koma, kamu segera pulang ya, cepat pesan tiket untuk pulang ke Solo ya !” Tulang tulangku serasa lepas dari ragaku. Aku terduduk dalam pilu dan kelu. Aku  menelpon suamiku yang saat itu sedang bertugas di luar pulau jawa.
            Sesampai di Solo kami langsung menuju rumah sakit. Sepanjang lorong rumah sakit menuju ruang ICU tercium bau obat dan pembersih lantai antiseptik.Aroma  itu semakin menyesakkan dadaku. Langkahku mulai gontai, karena kelelahan jiwa raga yang tak terkira. Dengan baju khusus aku memasuki ruang ICU.  Jiwaku tersayat, hatiku perih, air mata tak mampu ku surutkan dengan lembar-lembar tissue yang ku genggam. Ku belai rambutnya,, kubisikkan tahlil di telinganya dan kubisikkan pula sepotong kabar bahwa aku adik bungsu kesayangannya datang untuknya. Ku belai tangannya diantara selang infus yang menjulur, kubisikkan lagi di telinganya bahwa aku datang untuknya. aku  terduduk   lesu  disudut  ruangan. Rengsa jiwaku rengsa ragaku..
Beberapa saudara menyarankan agar aku pulang untuk beristirahat. Mataku terpejam namun jiwaku entah kemana. Belum satu jam aku pulang untuk beristirahat. Kabar dari rumah sakit datang, kondisi Mbak Ais semakin kritis
Kami segera meluncur ke rumah sakit. Karena panik  sampai-sampai  kami sempat salah jalan. Tempat parkir yang penuh membuat  kesulitan memarkir mobil. Aku tak sabar lagi. Kami keluar dari mobil meninggalkan sang sopir yang masih tegang mencari tempat parkir..Dalam rinai hujan, tanpa payung kami  berlari melintasi halaman rumah sakit kemudian  menuju ruang ICU.  Kalimat tahlil memenuhi ruangan, air mataku berkejaran, aku tak kuasa meyaksikan dan akhirnya…. nafas itu terlepas dari kerongkongan. Jiwa itu lepas dari raga. Denyut kehidupan tak lagi ada. Requiem paling alami atau  tangisan mulai terdengar. Kakak sulungku meninggal bertepatan dengan ulang tahun ke tujuh putra keduaku.

Aku menyerana dalam hening berkarib renung. Mencatatnya dalam sebuah Buku Biru, momen-momen penting dalam hidupku di bulan Maret. Pernikahanku, 40 hari wafatnya ibu mertuaku, kelahiran putra keduaku, berpulangnya kakaku bertepatan dengan ulang tahun ke 7 putra kedua ku.
Aku beranjak mengangkat telephone, disana kudengar “ Tante kami berdua berulang tahun, mana kadonya?” Aku terhenyak....
Ku tambahkan lagi sebaris catatan  dalam  Buku Biru itu, 27 Maret adalah ulang tahun 2 kemenakanku


*Cerpen ini masuk 10 besar dalam lomba cerpen yang diadakan Diva Press dengan tema Maret momen tahun 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Senyum Sang Guru

Sejak saat itu, ambisinya untuk membuat karya indah kian meruang. Namun, seolah sang ide bergegas pergi, mood meleleh.   Tumpukan buku, ...