Jumat, 08 Juli 2016

Ironi Lebaran

       Mata Nenek Humaira berkaca saat mobil Sport besar dan keren menjauhi halaman rumahnya.  Lenyap sudah reka-reka rencananya utuk tidur bersama cucu-cucunya. Padahal, seprei paling baru dan adem, kipas angin, selambu anti nyamuk yang cukup bagus,dongeng sebelum tidur dan berbagai camilan sudah disiapkannya.  Betapa tidak berkaca  sepasang mata tua itu, baru tadi pagi anak dan cucunya dari kota datang ke desa itu, namun malam harinya mereka berpamitan untuk istirahat di penginapan yang berada di kotamadya.
Suara takbir masih membahana, kakek segera mengamit lengan nenek ,mengajaknya duduk di ruang tengah dan berbincang. Wajahnya  tak kalah sendu dengan wajah istrinya, namun Kakek nampak lebih tegar. Kakek bwrusaha menghibur nenek.

Hari Raya, adalah salah satu  momen paling istimewa bagi sebagian besa Muslim di dunia.  Momen  tersebut dimanfaatkan sebagian besar warga kota untuk pulang ke  kampung  halaman.  Energi dan dana yang cukup besar seolah tak jadi soal, demi silaturahim dengan orangtua dan keluarga besar. Ya, tak di pungkiri berlebaran di kampung halaman memang luar biasa senangnya. Suasana yang tak bisa di gambarkan dengan kata-kata. Demikian juga maksud kedatangan Pak Pratama dan keluarga kecilnya  ke kampung halamannya.
Namun, di malam hari raya itu, hati nenek Humaira luluh lantak. Peristiwa tadi, masih segar dalam ingatannya.....

“Pada capek ya, yukk tidur di kamar nenek....!”
Cucunya menggeleng,sambil menjawab “ Gerah !”

“Ada kipas angin kok, nenek juga sudah memasang selambu  biar kalian ga di gigit nyamuk...” rayu Nenek Humaira,cucunya menggeleng lagi. Sementara si ibu hanya diam seribu bahasa.

“Nenek punya dongeng bagussss deh, mau nggak denger dongeng Nenek?” nenek Humaira masih belum putus asa merayu.

Cucu terbesar tetap menggeleng, sementara si adik tampak mulai tertarik namun kemudian ikut menggeleng. Raut wajah kecewa tergambar jelas di wajah Sang Nenek. Di buangnya tatapan sedihnya pada anak dan menantunya.

“ Maaf ya Nek.”  jawab si Ibu. Sementara si Ayah tampak salah tingkah.

“Emm, kita menginap di rumah nenek saja ya, tuhhh nenek sudah siapkan kipas angin kok, ada camilan-camilan juga kayaknya. Coba kita lihat dulu yuk!” rayu Pak Pratama , anak sulung Nenek Humaira itu.  Mereka bertiga nampak semangat mengikuti Ayahnya, wajah nenek berubah riang.

“Aduh Mas, lihat....alergi Nindya kambuh kayaknya, kulitnya merah-merah nih...!” keluh istri Pak
Pratama tiba-tiba.

Si Nenek dengan wajah cemas langsung menghampiri dan memeriksa kulit cucunya. Ternyata hanya sedikit saja ruam kemerahan di dada si kecil. “Oh...Sebentar ya, Nenek punya obat.”

“Terimakasih Nek, Nenek tidak usah repot-repot. Saya sudah bawa persediaan obat kok Nek .”  kata sang menantu  sambil mengeluarka obat dari tas khusus  yang berisi obat-obatan.

“Dia memang alergi panas Nek, kalau kepanasan kulitnya jadi begini ” jelasnya sambil mengoleskan lotion ke kulit anaknya.

Si Nenek hanya memandang, lagi-lagi ada sebersit kecewa di wajahnya. Dalam benaknya, dia berkata...itu keringet buntet*1 , di kasih pati kanji*2 juga sembuh.

Di teras depan, ternyata Pak pratama sedang termenung.

“Ayuk Pah !,keburu malam, lagian sejak sebelum berangkat kan kita sudah booking penginapan, ga enak kalau di cancel.”

Lamunan Pak Pratama buyar. Kini dia berpikir; tidak enak dengan pemilik penginapan? Lalu,bagaimana perasaan orangtuaku? Namun desakan sang istri dan rengekan sulungnya membuatnya melangkah gontai.  Pak Pratama  mendekati ibunya yang masih bercanda ria dengan si kecil. Dengan wajah sedih, Pak Pratama meminta maaf dan mencoba membuat ibu dan ayahnya bisa mengerti. Kakek mengizinkan sambil berpesan agar besok jangan lupa untuk sholat Ied bersama di alun-alun. Sementara nenek masih nampak sedih namun tak bisa berkata apa-apa lagi.

Setahun kemudian....

“Mudik lebaran tahun ini, kita menginap di rumah nenek dan kakek, orangtua Ayah.”  jelas Pak Pratama mantap dan tegas pada istri dan anak-anaknya.
Tak dihiraukannya wajah istrinya yang cemberut. Tak lama kemudian istrinya mendekatinya sambil melontarkan rayuan agar mereka menginap di penginapan ber AC. 
“ Tidak !,  seharusnya, sebagai orangtua kita menjadi teladan anak-anak kita. “

“Ih, Papa kok begitu, memang selama ini kita tidak memberi contoh yang baik pada anak-anak?”

“Bukan begitu maksudku. Ku akui Dek, kamu cukup piawi mendidik mereka menjadi anak yang manis, sopan dalam bertingkah dan bertutur kata baik. Namun, nampaknya kita perlu meningkatkan lagi...”

“Apa lagi sih Pa? Nggak usah idealis lah...”

“ Bukan idealis, sudah seharusnya santun tutur kata kita, lembut  tutur kata kita diberengi dengan hati dan laku yang santun pula. Aku sadar benar, tahun lalu kita sudah membuat Nenek kecewa ”

“ Bagaimana ya Pah,anak-anak kita kan lahir dan besar di kota, gaya hidup mereka sudah berbeda dengan kita-kita dulu.”

“ Ya, itu kesalah kita, kita sudah membuat anak kita tidak mau bertahan dalam segala kondisi karena kita tidak memberi teladan. Dulu kita juga hidup biasa saja, namun fasilitas dan kenyamanan yang di karuniakan Allah pada kita membuat kita lupa,bahwa kita punya kewajiban mendidik anak agar survive dan tetap menghargai sesama. Kita tidak tega membuat mereka susah sementara kita mengabaikan perasaan orangtua kita.Padahal aku yakin anak-anak bisa beradaptasi asal kita sabar mendukungnya. Apalagi hanya karena  masalah sepele, masalah fisik, gerah,sumuk hehee.. “

Sang ibu dan istri itu terpekur,menyadari satu hal,bahwa dia telah membuat sebuah ironi lebaran......

                         

*1, biang keringat
*2, tepung dari singkong

Ditulis sejak 2014,di edit lagi 2016 ☺
                                                                                            

                                                                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Senyum Sang Guru

Sejak saat itu, ambisinya untuk membuat karya indah kian meruang. Namun, seolah sang ide bergegas pergi, mood meleleh.   Tumpukan buku, ...