Wanita itu sedang menghisap
rokok filter ramping di dekat lapaknya, tampak sangat menikmati. Seorang wanita
paruh baya datang, dia buru-buru meletakkan rokoknya sambil tersenyum malu. Tak
lama kemudian tangannya mulai bergerak cepat dan terampil membungkus nasi uduk
untuk wanita itu. Sekitar sepuluh menit kemudian dia menyusup
diantara kerumunan orang sambil membawa gelas kopi di kedua tangannya.
Sret..sret… dan lolos, mirip iklan penurun berat badan. Gerak cepat dan lincah
penuh semangat.
Kesekian kalinya
bertemu dengan wanita itu, yang ada di kepala Bu Bastian masih sama, yaitu
Mulan Jameela. Oleh karena itulah dia selalu memanggilnya Mulan. Bila di
panggil dengan nama itu dia akan tersipu malu bersemu tersanjung dan berkata “
Ah, bisa saja!”. Tubuhnya ramping cenderung kerempeng, pipinya sedikit kempot,
kulitnya juga tidak terlampau terang tetapi tetap saja cantik. Kaos dan jeans
ketat sering membalut tubuhnya, walau kerempeng tetap saja penampilannya itu membuat
mata tukang ojek dan tukang parkir di sekitar lapaknya melotot dan para pedaganga wanita memiringkan bibir.
Dia termasuk
beruntung, orangtuanya masih memiliki rumah di sekitar pasar itu. Sebagian
besar pedagang pasar tersebut menyewa tempat pada Pak Haji Sobirin. Pasar Pagi
demikian sebutannya. Letaknya di sekitar lingkungan perumahan menengah ke atas,
tetapi kondisi pasar itu tak kalah kumuh dengan pasar-pasar lain. Setiap kali
hujan turun sudah di pastikan becek di sana sini, belum lagi sampah yang
berantakan, menebar aroma menyengat tak sedap.
Beberapa bulan
belakangan, lapak Martini tutup. Berita
tak sedap tentangnya mengudara, tak kalah dengan aroma sampah busuk di pasar
itu.
“Aku
harus bagaimana Pak ?” tanyanya dengan suara retak
Laki-laki itu
menyeret kursi cukup keras, menimbulkan suara derit khas. Martini bergidik
sambil menciutkan matanya
“ He hee…ngilu ya, seperti
perasaanmu saat ini kan ?” tanya laki-laki itu. Martini mengangguk
“ Minum dulu..!” kata seorang
wanita paruh baya yang duduk di samping laki-laki itu.
Lebih dari satu
jam mereka berbincang. Namun wajah Martini belum juga terang, masih ada bara
dendam yang menyala di matanya.
“ Sebelum aku menutup lapak nasi
uduk, berita tak keruan itu sudah sering terdengar. Sekarang kondisi ekonomiku
membaik, tak lagi berjualan nasi uduk. Semakin menjadi –jadi saja berita buruk
tentang aku, Ya Tuhaaaan !”
“Sudah, biarkan saja !” hibur Bu
Bastian sambil menepuk pundaknya “Adukan sakit hatimu pada Tuhan, menagislah
padanya. Tuhan mendengar do’a orang yang terdholimi!” tambahnya
Lima menit
kemudian Martini meninggalkan rumah pasangan pebisnis itu, pelanggan nasi
uduknya. Martini memasuki gang kecil, jalan pintas menuju rumahnya. Pemandangan
sangat berbeda, rumah bedeng berjajar, jemuran bertebaran di depan rumah dari
pakaian dalam sampai sepre, got mampet dan tentu saja sampah berserakan. Kampung
itu sebagian besar di singgahi pedagang Pasar Pagi.
“Permisi Pok!” sapa Martini ,
namun tak ada satu pun yang menjawab.
“Eh, kalau pakai jilbab demi
uang masuk surga kagak Pok?” sindir si Leha
“Yeee… mene ketehek Pok Piah ,
tanya ama malaikat noh !”
“Songong bet dah , malaikat di
bawa-bawa ! nyang songong ya nyang mata duitan !!” sahut Leha.
Martini menghela
nafas. Bara di dadanya hampir menyala lagi. Mulutnya komat-kamit membaca
istighfar sambil mempercepat langkahnya.
“Brakkkkkk !”
Martini membuka
pintu kamarnya kencang kemudian membanting tubuhnya ke ranjang. Tangisnya
pecah. Hatinya seolah sudah lumat. Dia
segera membasuh air matanya ketika mendengar putri sulungnya kelas tiga SMP
datang dari sekolah dan memanggilnya.
“Masak apaan Nyak?”
“Nyak kagak masak No’, Nyak lagi
pusing. Beli makan di warteg ya..!”
“Nyak kenapa???? “ selidik Eka
ketika mendapati mata Ibunya agak memerah.
Eka menghambur ke
pelukan ibunya sambil terisak. Martini segera meyakinkan putrinya bahwa dirinya
baik-baik saja. Gadisnya tampak lega kemudian bergegas menuju warteg.
Eka, sulung
Martini sangat tidak tahan bila melihat
ibunya sakit atau tampak murung. Sejak usia 9 tahun dia hidup bersama ibu dan
dua adiknya, ayahnya menghilang tanpa pesan. Sejak saat itu, Martini berjuang
sendiri menghidupi anaknya dengan berjualan nasi uduk dan membuka warung kopi.
Warisan tanah dari orangtuanya seolah tak pernah di hiraukannya. Yang ada di
kepalanya hanya satu, tanah itu untuk anak-anaknya kelak. Martini wanita
berpendirian kuat, ketika kawan-kawan sebayanya menikah, dia bertahan
melanjutkan sekolahnya hingga lulus SMK. Dia berniat melanjutkan kuliah tetapi
orangtuanya tidak mengizinkan dengan alasan yang sangat klise, tidak ada biaya
dan wanita tidak perlu sekolah tinggi. Padahal dia faham, bila orang tuanya mau
menjual sepetak tanahnya saja, dia bisa menggapai mimpinya. Tetapi orangtuanya
terlampau sulit di goyahkan, dia hanya bisa menelan rasa kecewanya. Setengah
tahun kemudia Martini menerima lamaran seorang laki-laki perantau yang sempat
menarik perhatiannya walau belum bisa dikatakan cinta. Ketika sulungnya berusia
9 tahun suaminya pergi menengok keluarganya. Sejak saat itu suaminya tidak muncul-muncul lagi.
Martini mulai
membuka warung kopi dan nasi uduk. Tetapi, sejak bertemu Bu Bastian yang sering
memanggilnya dengan Mulan Jameela, dia mendapat banyak informasi dan inspirasi
untuk mengembangkan usahanya. Tanah kosong peninggalan orangtuanya yang dulu
pernah diinginkannya untuk melanjutkan kuliah, di manfaatkannya sebagai
penampungan barang-barang bekas terutama kertas. Dia dan 3 anaknya tinggal bersama orangtuanya
sejak suaminya menghilang. Usahanya menerima barang-barang bekas mulai maju,
sejak saat itulah isyu tak sedap tentang dirinya berhembus. Martini di kabarkan
menjadi istri simpanan orang komplek dekat pasar dan dari situlah dia mendapat
modal. Ada lagi isyu bahwa dia menjadi istri muda haji Sobirin, pemilik tanah
pasar Pagi makanya sekarang dia berjilbab dan tidak merokok. Yang paling
menyakitkan hati Martini adalah isyu bahwa dirinya pernah menjadi wanita
panggilan.
**
Martini bersiap ke lapak barang bekasnya, dia menarik
sebuah blouse bunga-bunga dari tumpukan pakaiannya. Dia berdiri lama di depan
almarinya, tak segera beranjak. Tangannya membuka lembaran kertas kado yang
digunakannya sebagai alas pakaian di almarinya. Selembar foto lusuh itu di
tatapnya dalam, matanya berkaca-kaca.
Foto dirinya
bersama ke tiga anaknya yang
ditemukannya di antara tumpukan kertas bekas beberapa minggu yang lalu. Saat
seorang tukang rongsok menyerahkan segerobak kertas bekas ke lapak barang
bekasnya. Masih ada sejumput harapan bisa bertemu suaminya demi kebahagiaan
anak-anaknya.
“Dia tidak jauh dari sini !”
bisiknya lirih
Dia kembali
menyelipkan foto lusuh itu ke tempat semula. Dadanya memberat. Dia duduk di
tepi tempat tidurnya.
“Guinggggg…nguinggggg….
nguingggggg!”
Suara sirine
membuyarkan lamunan Martini. Suara riuh mulai
terdengar. Martini berlari, jantungnya
berdegup kencang.
“Kebakaraaaaan !” teriak tetangga sebelah rumahnya
“Pasar pagi kebakaran !”
“Pasar pagi kebakaran !”
Satu jam kemudian api berhasil dipadamkan.
Beberapa lapak ludes terbakar, sementara lapak yang lain terbakar sebagian. Tidak
ada korban tewas tetapi beberapa mengalami luka ringan. Martini mematung
memandangi sisa –sisa kebakaran.
“Tuhan, inikah jawabanmu?
“bisiknya lirih
“Martiniiiiii !” panggil
pedagang jengkol
“mobil pick up mu ada?” tanya pedagang kelapa
yang paling sering menggodanya
Martini mengangguk
cepat sambil bergegas menghampiri
mereka berdua yang sedang
menggotong seseorang yang sedang terluka parah.
“Suamiku !” ucap Martini lirih,
matanyanya berkaca-kaca.
#NulisRandom2017
#harike30
#hariterakhir
#NulisRandom2017
#harike30
#hariterakhir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar