Kamis, 29 Juni 2017

Martini, Kau Tak Sendiri



                Wanita itu sedang menghisap rokok filter ramping di dekat lapaknya, tampak sangat menikmati. Seorang wanita paruh baya datang, dia buru-buru meletakkan rokoknya sambil tersenyum malu. Tak lama kemudian tangannya mulai bergerak cepat dan terampil membungkus nasi uduk untuk wanita itu.   Sekitar sepuluh menit kemudian dia menyusup diantara kerumunan orang sambil membawa gelas kopi di kedua tangannya. Sret..sret… dan lolos, mirip iklan penurun berat badan. Gerak cepat dan lincah penuh semangat.
Kesekian kalinya bertemu dengan wanita itu, yang ada di kepala Bu Bastian masih sama, yaitu Mulan Jameela. Oleh karena itulah dia selalu memanggilnya Mulan. Bila di panggil dengan nama itu dia akan tersipu malu bersemu tersanjung dan berkata “ Ah, bisa saja!”. Tubuhnya ramping cenderung kerempeng, pipinya sedikit kempot, kulitnya juga tidak terlampau terang tetapi tetap saja cantik. Kaos dan jeans ketat sering membalut tubuhnya, walau kerempeng tetap saja penampilannya itu membuat mata tukang ojek dan tukang parkir di sekitar lapaknya melotot dan  para pedaganga wanita memiringkan bibir.  
Dia termasuk beruntung, orangtuanya masih memiliki rumah di sekitar pasar itu. Sebagian besar pedagang pasar tersebut menyewa tempat pada Pak Haji Sobirin. Pasar Pagi demikian sebutannya. Letaknya di sekitar lingkungan perumahan menengah ke atas, tetapi kondisi pasar itu tak kalah kumuh dengan pasar-pasar lain. Setiap kali hujan turun sudah di pastikan becek di sana sini, belum lagi sampah yang berantakan, menebar aroma menyengat tak sedap.
Beberapa bulan belakangan, lapak Martini  tutup. Berita tak sedap tentangnya mengudara, tak kalah dengan aroma sampah busuk di pasar itu.        
“Aku harus bagaimana Pak ?” tanyanya dengan suara retak
Laki-laki itu menyeret kursi cukup keras, menimbulkan suara derit khas. Martini bergidik sambil menciutkan matanya
                “ He hee…ngilu ya, seperti perasaanmu saat ini kan ?” tanya laki-laki itu. Martini mengangguk
                “ Minum dulu..!” kata seorang wanita paruh baya yang duduk di samping laki-laki itu.
Lebih dari satu jam mereka berbincang. Namun wajah Martini belum juga terang, masih ada bara dendam yang menyala di matanya.
                “ Sebelum aku menutup lapak nasi uduk, berita tak keruan itu sudah sering terdengar. Sekarang kondisi ekonomiku membaik, tak lagi berjualan nasi uduk. Semakin menjadi –jadi saja berita buruk tentang aku, Ya Tuhaaaan !”
                “Sudah, biarkan saja !” hibur Bu Bastian sambil menepuk pundaknya “Adukan sakit hatimu pada Tuhan, menagislah padanya. Tuhan mendengar do’a orang yang terdholimi!” tambahnya
Lima menit kemudian Martini meninggalkan rumah pasangan pebisnis itu, pelanggan nasi uduknya. Martini memasuki gang kecil, jalan pintas menuju rumahnya. Pemandangan sangat berbeda, rumah bedeng berjajar, jemuran bertebaran di depan rumah dari pakaian dalam sampai sepre, got mampet dan tentu saja sampah berserakan. Kampung itu sebagian besar di singgahi pedagang Pasar Pagi.
                “Permisi Pok!” sapa Martini , namun tak ada satu pun yang menjawab.
                “Eh, kalau pakai jilbab demi uang masuk surga kagak Pok?” sindir si Leha
                “Yeee… mene ketehek Pok Piah , tanya ama malaikat noh !” 
                “Songong bet dah , malaikat di bawa-bawa ! nyang songong ya nyang mata duitan !!” sahut Leha.
Martini menghela nafas. Bara di dadanya hampir menyala lagi. Mulutnya komat-kamit membaca istighfar sambil mempercepat langkahnya.
                “Brakkkkkk !”
Martini membuka pintu kamarnya kencang kemudian membanting tubuhnya ke ranjang. Tangisnya pecah. Hatinya seolah sudah lumat.  Dia segera membasuh air matanya ketika mendengar putri sulungnya kelas tiga SMP datang dari sekolah dan memanggilnya.
                “Masak apaan Nyak?”
                “Nyak kagak masak No’, Nyak lagi pusing. Beli makan di warteg ya..!”
                “Nyak kenapa???? “ selidik Eka ketika mendapati mata Ibunya agak memerah.
Eka menghambur ke pelukan ibunya sambil terisak. Martini segera meyakinkan putrinya bahwa dirinya baik-baik saja. Gadisnya tampak lega kemudian bergegas menuju warteg.
Eka, sulung Martini sangat tidak tahan bila  melihat ibunya sakit atau tampak murung. Sejak usia 9 tahun dia hidup bersama ibu dan dua adiknya, ayahnya menghilang tanpa pesan. Sejak saat itu, Martini berjuang sendiri menghidupi anaknya dengan berjualan nasi uduk dan membuka warung kopi. Warisan tanah dari orangtuanya seolah tak pernah di hiraukannya. Yang ada di kepalanya hanya satu, tanah itu untuk anak-anaknya kelak. Martini wanita berpendirian kuat, ketika kawan-kawan sebayanya menikah, dia bertahan melanjutkan sekolahnya hingga lulus SMK. Dia berniat melanjutkan kuliah tetapi orangtuanya tidak mengizinkan dengan alasan yang sangat klise, tidak ada biaya dan wanita tidak perlu sekolah tinggi. Padahal dia faham, bila orang tuanya mau menjual sepetak tanahnya saja, dia bisa menggapai mimpinya. Tetapi orangtuanya terlampau sulit di goyahkan, dia hanya bisa menelan rasa kecewanya. Setengah tahun kemudia Martini menerima lamaran seorang laki-laki perantau yang sempat menarik perhatiannya walau belum bisa dikatakan cinta. Ketika sulungnya berusia 9 tahun suaminya pergi menengok keluarganya. Sejak saat itu suaminya  tidak muncul-muncul lagi.
Martini mulai membuka warung kopi dan nasi uduk. Tetapi, sejak bertemu Bu Bastian yang sering memanggilnya dengan Mulan Jameela, dia mendapat banyak informasi dan inspirasi untuk mengembangkan usahanya. Tanah kosong peninggalan orangtuanya yang dulu pernah diinginkannya untuk melanjutkan kuliah, di manfaatkannya sebagai penampungan barang-barang bekas terutama kertas.  Dia dan 3 anaknya tinggal bersama orangtuanya sejak suaminya menghilang. Usahanya menerima barang-barang bekas mulai maju, sejak saat itulah isyu tak sedap tentang dirinya berhembus. Martini di kabarkan menjadi istri simpanan orang komplek dekat pasar dan dari situlah dia mendapat modal. Ada lagi isyu bahwa dia menjadi istri muda haji Sobirin, pemilik tanah pasar Pagi makanya sekarang dia berjilbab dan tidak merokok. Yang paling menyakitkan hati Martini adalah isyu bahwa dirinya pernah menjadi wanita panggilan.
**
                Martini  bersiap ke lapak barang bekasnya, dia menarik sebuah blouse bunga-bunga dari tumpukan pakaiannya. Dia berdiri lama di depan almarinya, tak segera beranjak. Tangannya membuka lembaran kertas kado yang digunakannya sebagai alas pakaian di almarinya. Selembar foto lusuh itu di tatapnya dalam, matanya berkaca-kaca.
Foto dirinya bersama ke tiga anaknya  yang ditemukannya di antara tumpukan kertas bekas beberapa minggu yang lalu. Saat seorang tukang rongsok menyerahkan segerobak kertas bekas ke lapak barang bekasnya. Masih ada sejumput harapan bisa bertemu suaminya demi kebahagiaan anak-anaknya.
                “Dia tidak jauh dari sini !” bisiknya lirih
Dia kembali menyelipkan foto lusuh itu ke tempat semula. Dadanya memberat. Dia duduk di tepi tempat tidurnya.
                “Guinggggg…nguinggggg…. nguingggggg!”
Suara sirine membuyarkan lamunan Martini.  Suara riuh mulai terdengar. Martini berlari,  jantungnya berdegup kencang.
                “Kebakaraaaaan  !” teriak tetangga sebelah rumahnya
                “Pasar pagi kebakaran !”
                “Pasar pagi kebakaran !”
Satu  jam kemudian api berhasil dipadamkan. Beberapa lapak ludes terbakar, sementara lapak yang lain terbakar sebagian. Tidak ada korban tewas tetapi beberapa mengalami luka ringan. Martini mematung memandangi sisa –sisa kebakaran.
                “Tuhan, inikah jawabanmu? “bisiknya lirih
                “Martiniiiiii !” panggil pedagang jengkol
 “mobil pick up mu ada?” tanya pedagang kelapa yang paling sering menggodanya
Martini mengangguk cepat sambil bergegas menghampiri  mereka  berdua yang sedang menggotong seseorang yang sedang terluka parah.
                “Suamiku !” ucap Martini lirih, matanyanya berkaca-kaca.



#NulisRandom2017
#harike30
#hariterakhir
                               
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Senyum Sang Guru

Sejak saat itu, ambisinya untuk membuat karya indah kian meruang. Namun, seolah sang ide bergegas pergi, mood meleleh.   Tumpukan buku, ...