Kamis, 22 Juni 2017

Konspirasi Yang Indah ( Tamat)



Orang di hadapan Wulan berjalan mendekati Wulan. Seperti tak kuasa menahan diri lagi, dia segera menarik tangan Wulan dan mengajaknya menjauh dari keramaian stand itu. Wulan tidak bisa meronta, perasaan indah yang tak segera hilang justru semakin indah, apalagi ketika lelaki itu melingkarkan tangannya di pinggang Wulan. Mereka terus berjalan menuju pintu keluar gedung dengan langkah cepat. Akhirnya mereka duduk tak berjarak di bawah pohon rindang.
Faisal menggenggam tangan Wulan sangat erat sambil sesekali menatap wajah Wulan sambil tersenyum. Segenggam bara curiga, segores luka, seantero ego, sebongkah resah dan gelisah seolah lenyap dari dada mereka. Kalbu mereka benar-benar telah bening sehingga mampu bertutur dengan bahasa yang bernas, segalanya seolah menjadi jelas, tanpa mereka harus menjelaskan satu sama lain perihal masalah mereka kemarin.

        “ Bang sudahlah, ini kan di tempat umum!” bisik Wulan 

        “Biarin aja, kamu kan istriku, syah !” 

Wulan tertawa kecil sambil menutup mulutnya.  

        “Jangan di tutup .” kata Faisal sambil menurunkan tangan Wulan “Lama aku nggak lihat lesung pipimu .” imbuhnya. Wulan hanya bisa tertawa kecil sambil tersipu-sipu. 

         " Bang, emm...tadi aku datang ke mari sama Mama dan Papa ,tapi kita sempat terpisah !" jelas Wulan, Faisal tertegun.
     
       “Selama ini Papa dan mama tidak pernah mengizinkan aku  pergi jauh sendirian, Bang. Alasan mereka, kondisi emosiku sedang tidak stabil dan untuk menjaga dari fitnah. Aku sempat merasa geli, aku kan sudah dewasa. Tapi, aku menurut saja, orangtua lebih berpengalaman “

Faisal mengangguk-angguk. Perasaannya sangat bahagia, dia memiliki mertua yang luar biasa bijaksana.
 
“ Merekalah orang yang paling bertanggung jawab menjagaku, menghiburku selama kita, emm.... ”  jelas Wulan sambil menyurut air matanya tak sanggup melanjutkan ucapannya.

Spontan Faisal mendaratkan kecupan di kening Wulan “ Abang minta maaf ya, Sayang . “  bisik Faisal lembut.

"Wulan juga minta maaf Bang !" kata Wulan dengan suara pecah menahan tangis.

Faisal tak mampu berkata-kata lagi selain mengerjap-ngerjapkan matanya yang mulai berkaca-kaca sambil menengadah ke langit, mengucapkan mohon ampunan dan terimakasih yang amat dalam. 

        “Tadi mereka mengingatkan sudah ada IBF lagi dan mengajak aku ke sini. Mereka orangtua yang luar biasa dimataku Bang.” Kata Wulan sambil tersenyum manja.

Faisal mengangguk-angguk sambil tersenyum “Emm, sebenarnya aku juga datang sama Bunda dan Ayah Lan, tadi mereka minta diantar. “ 

        “Oh ya? lalu kemana Bunda dan Ayah?”

        “Mereka bilang mau cari minum dan aku di suruh menunggu di stand tadi , tapi mereka tidak datang-datang juga. Aku menelpon tapi tidak diangkat sampai akhirnya malah kita bertemu  ” jelas Faisal sambil tertawa kecil, diikuti tawa geli Wulan.

        “Yuk kita cari Bang !” ajak Wulan sambil meraih lengan Faisal. 

Faisal menjatuhkan pandangannya ke tangan Wulan sambil tersenyum. Kemudian menatap Wulan sambil mengerlingkan matanya. Mereka tertawa lepas. Dengan langkah cepat mereka kembali masuk ke gedung Istora Senayan dan langsung menuju ke cafetaria.
Mereka mendapati dua pasang orangtua mereka duduk di tempat  paling ujung, sedang berbincang sambil tertawa-tawa. Karena cafetaria tidak terlampau luas, mereka segera tertangkap oleh pandangan Pak Marzuki. Beliau langsung melambaikan tangannya dan memberi isyarat agar mereka segera  ke meja mereka. Wulan dan Faisal saling memandang dengan bersit tanda tanya. Mereka pun bergegas mendekati orangtua mereka.

        “Ehmmm....serasa ada pengantin baru nih suasananya.!” celetuk Pak Marzuki memecah suasana haru. “Kok kalian bisa bertemu di sini, kencan yaaa? ” lanjut Pak Marzuki dengan nada meledek ala anak muda. 

Tawa mereka berderai, Wulan dan Faisal kembali tersipu malu. Benar-benar seperti ABG yang sedang dilanda cinta pertama.  

        “Emm, maaf nih, Wulan malah penasaran juga, kok semua bisa bertemu disini ?” tanya Wulan sambil masih menahan rasa malu.

        “Bisa dong, dunia kan cuma selebar daun kelor, “ gurau Pak Pras. “ Eh...kalian mau makan atau nggak nih? kalau enggak, cepetan kalian pulang saja nanti Papa bisa pulang bareng Pak Marzuki, kebetulan kita masih perlu bicara soal bisnis.” kata Pak Pras, cepat-cepat membelokkan tema pembicaraan.

        “Ih, Papa kok gitu sih.” protes Wulan. 

Pak Pras hanya tersenyum kemudian memandang ke arah Pak Marzuki yang tertawa lebar. Sementara Bu Hesti dan Bu Syahriza tersenyum-senyum simpul.

        “Eh...ngomong-ngomong kalian tadi bertemu dimana ?” tanya Bu Syahriza.

        “Isal mau tanya dulu, Bunda dan Ayah tadi kemana kok di telpon tidak diangkat-angkat?” 

        “Oh, hehee...lagi makan kali Sal, Hp Bunda di tas, jadi nggak denger , maafin Bunda ya Sal !”

        “ Hp Ayah, mati Sal ” imbuh Pak Marzuki sambil menunjukkan Hpnya, sebelum Faisal protes ke ayahnya juga.

Faisal hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Masih ada tanda tanya di kepalanya tetapi dia merasa tidak perlu menanyakannya saat itu juga.

Rindu mereka sudah meletup-letup dan itu tak bisa tertutup dari pandangan orangtua mereka yang sudah makan asam garam kehidupan berumah tangga lebih dari cukup.  Pak Pras kembali mengatakan pada Wulan dan Faisal  bahwa dia akan pulang bersama besannya, karena masih ada urusan bisnis. Semula mereka sempat ragu dan malu tetapi Bu Syahriza, Bu Hesti dan Pak Marzuki  mendukung nasehat Pak Pras.
Tak lama kemudian Faisal dan Wulan pun berpamitan dengan sedikit sikap malu-malu yang lucu. Setelah putra putri mereka menghilang dari pandangan , tawa dua pasang orangtua mereka kembali meledak.

        “Ternyata kita semua bakat jadi sutradara film ya.”  kata Pak Marzuki

        “Sutradara sandiwara Pak, bukan film.” protes Bu Hesti 

        Tawa mereka kembali berderai. Selama berhari-hari, siang malam mereka berdiskusi, berkonspirasi agar anak-anak mereka berdamai. Dan rencana terakhir mereka adalah mengatur pertemuan Wulan dan Faisal di IBF. Betapa serunya, bagaimana Bu Hesti tiba-tiba menghilang sebentar untuk memberitahu Bu Syahriza, dimana posisi mereka. Kemudian Bu Hesti mencari cara agar Wulan tetap berada di stand itu sampai Faisal datang. Kemudian ayah dan Ibu Faisal mencari alasan akan mencari minuman dan meminta Faisal agar mencarikan buku seputar pendidikan psikologi anak .

Mereka saling mengungkapkap rasa syukur bahwa anak-anak mereka bertumbuh menjadi pribadi yang cerdas dan sabar. Mampu menggiring orangtua sampai pada sebuah pemahaman akan sebuah arti silaturahim yang sesungguhnya. Yaitu saling berbagi perhatian, kasih sayang, ilmu, pengalaman, informasi, bahkan berbagi duka maupun suka yang kesemuanya bermuara pada ketundukan hati pada sang Rabb. Lewat anak-anak merekalah, mereka justru menjadi faham bahwa manusia  memegang amanah penting di muka bumi ini. Bukan sekedar bermuara pada kesusksesan bisnis mereka. Mereka meyadari, selama ini mereka mengartikan silaturahim hanya sebatas saling mengunjungi dan memberi buah tangan, itupun kadang hanya karena alasan “tidak enak”. Oleh karena itulah, ketika anak-anak mereka sedang khilaf akan makna silaturahim, sekuat tenaga mereka berjuang mendamaikan. Walau harus membuat sebuah konspirasi, ya..sebuah  konspirasi yang indah. 

Sementara itu di area parkir, mobil yang di tumpangi Faisal dan Wulan tak juga meluncur, mereka justru saling melemparkan tanda tanya yang bersarang di kepala masing-masing seputar pertemuan mereka.  Akhirnya mereka terkekeh-kekeh dan menyadari satu hal, bahwa pertemuan mereka bukanlah pertemuan yang alamiah, tetapi ada sebuah konspirasi besar. Ya, konspirasi yang mulia. Rasa syukur mengembang di hati mereka, betapa mereka mendapat rizki luar biasa, memiliki orangtua yang bijaksana dan cerdas. Keluarga adalah lembaga terkecil yang layak mereka jaga kualitasnya, agar tetap tercelup dengan kalam ilahi dan agar menjadi sumbangsih bagi agama dan bangsa.  

Selesai 

#NulisRandom2017
#harike23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Senyum Sang Guru

Sejak saat itu, ambisinya untuk membuat karya indah kian meruang. Namun, seolah sang ide bergegas pergi, mood meleleh.   Tumpukan buku, ...