Kamis, 22 Juni 2017

Konspirasi Yang Indah ( 3 )


        “Bagaimana jika kita mencoba menemui menantu kita masing-masing?” kata Pak Marzuki seketika nampaknya pemikiran itu sudah bersarang sejak tadi dalam benaknya.

        “ Misinya?” tanya Bu Syahriza

        Misinya perdamaian tanpa menggurui melainkan memberi teladan!” jelas Pak Marzuki. 

        “Setuju Pak, perbuatan berbicara lebih lantang daripada kata-kata!” sahut Bu Hesti. “Saya ingin menjenguk Faisal, saya juga sudah kangen humor segarnya !” imbuhnya.

Mereka sepakat tentang misi itu dan telah mempersiapkan rencana satu, dua dan tiga bila memungkinkan. Dan rencana itu akan diluncurkan tergantung situasi yang mereka hadapi nanti saat bertemu menantu masing-masing. 

**
Pagi itu, mertua Wulan datang ke rumah orangtua Wulan. Bu Syahriza langsung memeluk Wulan kemudian mencium pipi dan jidat Wulan sebelum Wulan sempat mengulurkan tangan untuk bersalaman. Ketika Wulan mencium punggung tangan ayah mertuanya tangan kiri Pak Marzuki spontan mengelus kepala Wulan penuh kasih. Semua berjalan dengan sangat alamiah tanpa kepura-puraan.
        “Apa kabar Nak?” tanya Pak Marzuki sambil tersenyum menatap Wulan yang tak kuasa menahan air matanya.
        “Mana cucuku?” tanya Bu Syahriza. 
Tak lama kemudian Bu Hesti muncul sambil menuntun Najwa, di susul Pak Prasetyo. Najwa langsung menghambur ke pelukan neneknya yang sering mendongeng untuknya tentang burung hantu kecil yang lucu dan cerdas. Matanya bulat dan lebar seperti Najwa.
        “Coba  tebak, apa ini?” tanya Pak Marzuki, Najwa bergegas megambil bungkusan kecil dari tangan Pak Marzuki. “Eit, tidak bisa....sayang kakek dulu!”
Najwa segera mendaratkan ciuman di pipi kakeknya dan meraih bungkusan itu. Boneka burung hantu kecil dan kue. Najwa kegirangan sekarang menghambur ke pelukan ibunya, memamerkan bonekanya.
        Ibu nangis?” tanya Najwa dengan polosnya sambil memegang-megang mata Wulan.
        Wahh lucu yaaa burung hantunya!” selimur Wulan sambil mengelus kepala putrinya. “Sebentar ya, Ummi mau membuat minuman untuk Kakek dan Nenek!” 
Wulan tergugu di dapur. Tangannya tak juga mengambil cangkir di hadapannya. Dia sangat terharu, tak terpancar kemarahan dan kebencian segaris pun di wajah mertuanya. Justru Wulan merasakan kasih sayang yang seolah ditumpahkan dari hati. Rasa malu dan bersalah yang sangat atas prilakunya selama ini sedang menyerangnya dengan hebat. Berkali-kali dia menghapus air matanya tetapi masih saja mengalir.

        “Lan, mertuamu minta air putih !” kata Bu Hesti tiba-tiba dari belakang punggung Wulan. “Sudah Lan, kamu jangan menangis seperti itu. Kurang bagus buat psikis Najwa.

Wulan mengangguk, menghapus air matanya kemudian menarik nafas dalam. Dia bisa menghentikan air matanya tetapi tidak bisa menyembunyikan mata sembabnya ketika harus menyuguhkan minuman. Tetapi seolah dia sudah tidak peduli lagi. Mereka semua orangtua yang sangat di sayanginya.  Dia hanya perlu mempersiapkan jawaban cerdas untuk pertanyaan Najwa. Entah satu, tiga atau tujuh menit lagi bahkan bisa jadi besok dia masih menanyakan.

        “Bagaimana bisnis tanaman hias mu Lan?” tanya Bu Syahriza. 

        “Alhamdulillah lancar Bunda, kemarin ada yang memesan beberapa jenis bunga, katanya untuk hari Ahad yang akan datang bahkan kami sempat kekurangan, untung saja masih ada waktu untuk mencarikan kekurangannya ! ”

        “Alhamdulillah, untuk acara apa rupanya pakai bunga banyak-banyak ?” tanya Pak Marzuki.

        “Saya kurang mengerti Yah, Kemungkinan...emm, untuk keperluan dekorasi pernikahan!” jawab Wulan. Tiba-tiba wajahnya sendu. Bu Syahriza melirik ekpresi wajah Wulan kemudian menarik nafas perlahan.

        “Terus bagaimana Lan?” tanya Pak Marzuki

        Yaa...sedang mencari kekurangannyanya, Yah .”

        “Perlu bantuan Ayah, Lan? Nanti Ayah bantu mencari ke bukit berbunga hehee...” gurau Pak Marzuki. 

Tawa mereka berderai. Suasana sangat  hangat, seperti tidak terjadi apa-apa antara Wulan dan Faisal. Seperti tidak ada sebuah misi mulia antar besan yang sedang di jalankan. Tiba-tiba Bu Syahriza nampak panik setelah membaca sms kemudian mohon pamit dengan alasan harus menemui seseorang sedang sakit. Pak Marzuki mengatakan, padahal dia masih merasa betah.

        “ridho atau tidak nih, mengantar istri ?” tanya Bu Syahriza.

        “He heee beramal ikhlas memang susah, kalau mudah surga tak lagi spesial dan neraka tak lagi mengerikan. Tapi, yang penting terus berusaha untuk ikhlas“ jawab Pak Marzuki sambil tersenyum dan bangkit dari duduknya. 

Spontan semua seperti tertegun dengan kalimat elok itu. Terutama Wulan, matanya kembali berkaca-kaca. Keikhlasan , sebuah kata yang tiba-tiba menghujam hatinya. Membuatnya bertanya pada dirinya sendiri, sudahkah dia ikhlas menerima segala kejadian baik ataupun buruk yang hadir di hadapannya? 

**
        Ibu tadi tiba-tiba pamit, itu di luar skenario kan?” tanya Bu Hesti setengah berbisik melalui telepon rumah. 

        “Iya, di luar scenario, Faisal terkilir kakinya!” jawab Bu Syahriza 

“Ohhhh...begitu, sekarang bagaimana kondisi Faisal?”

       “Sudah di urut tetapi masih kesulitan berjalan makanya tadi  terpaksa dia memberi kabar saya.”

        “Ohhh begitu, Ya Allah, kasihaaan menantuku .” kata Bu Hesti. Beberapa menit kemudian Bu Hesti menutup telepon

        “Siapa yang kasihan, Ma?” tanya Wulan tiba-tiba dari belakang punggung ibunya.Telinganya menangkap kata menantu.

Bu Hesti mematung karena terkejut dan bingung. Wulan kembali bertanya, ingin memastikan bahwa yang di dengarnya tadi tidak salah.

        “ Sudahlah Lan, kamu kan sudah tidak peduli dengan Faisal !” jawab Bu Hesti singkat sambil berlalu menuju kamarnya. 

Wulan hanya melongo, mengikuti langkah Ibunya dengan tatapan  matanya. Ketika pintu kamar tertutup, Wulan terhenyak. Sementara itu di balik pintu Bu Hesti sedang bersandar sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan. Sebenarnya dia ingin menjelaskan pada Wulan tentang apa yang sebenarnya terjadi, Faisal terpeleset di tangga, kakinya terkilir cukup parah. Tetapi Bu Hesti merasa takut salah karena Faisal melarang saat Ibunya berniat memberi kabar pada Wulan bahwa dirinya sedang sakit. Sebenarnya Bu Hesti juga tidak berniat mengatakan seperti apa yang di ucapkannya tadi. Entah mengapa seperti meluncur begitu saja,di luar kendalinya. Akhirnya yang ada permohonan agar kalimat itu bisa membawa kebaikan.
Sore itu langit terkurung mendung. Seolah mendukung perasaan gelisah yang sedang mengepung Wulan. Sudah tidak peduli dengan Faisal, ucapan itu membuatnya bertanya-tanya apakah benar dia tidak peduli lagi dengan suaminya, bila saat ini dia sedang penasaran dengan apa yang terjadi dengan suaminya. Tiba-tiba dia juga teringat satu hal. Biasanya, saat cuaca mendung Faisal memintanya membuat the hangat kemudian mengajaknya duduk di teras. Faisal menyebutnya upacara menunggu hujan. Wulan tersenyum mengingat hal itu. Kerinduan pada suaminya datang kemudian kembali merasa gelisah, bertanya-tanya lagi apa yang sedang terjadi pada suaminya. Tetapi dia tak juga mengangkat telepon untuk menghubungi suaminya. Tidak pula berani bertanya lagi pada ibunya. Bila Faisal pernah di hadang rasa cemburu, sekarang Wulan sedang di hadang rasa gengsi. Apakah dia takut menyungkurkan rasa itu atau egonya yang menariknya agar mundur? 
Pak Prasetyo mendekati Wulan yang sedang termenung sendiri di ruang tamu. Tetapi berlagak tidak mengerti dengan apa yang sedang di rasakan anaknya. Pak Pras membaca koran tetapi sebenarnya dia menunggu Wulan untuk berbicara. Ya berbicara  tentang harapannya, tentang niatnya tentang isi hatinya. Kemarin-kemarin dia terlalu banyak bertanya dan tampaknya itu bukan tindakan  yang tepat setidaknya demikian hasil “rapat antar besan” beberapa waktu yang lalu. Sebenarnya Pak Pras mulai ragu, jangan-jangan saat ini adadalh saat yang tepat untuk bertanya.

        “Pa....!” panggil Wulan tiba-tiba 

        “Ya...!”  jawab Pak Pras sambil menurunkan korannya sedikit, memandang Wulan. Tetapi Wulan malah menunduk.

Pak Pras meletakkan korannya “Ada apa Lan?”

        “ Ah nggak Pa, nggak jadi.”

        “ O, tidak bisa !” gurau Pak Pras, Wulan tertawa kecil.”Mau ngomomg apa Lan?”

Akhirnya Wulan berani bertanya tentang kabar Faisal.. Pak Pras memberi jawaban singkat bahwa kaki Faisal terkilir. Begitu saja, karena demikian skenario yang segera mereka buat sejak Wulan tanpa sengaja mendengar ucapan ibunya di telpon.
        “ Emm....tapi bagaimana kondisinya Pa?” tanya wulan setelah diam cukup lama.
        “Kabarnya lumayan parah, tidak bisa jalan.” jawab Pak Pras santai sambil megambil koran yang tadi di lipatnya. Sesekali melirik ekspresi wajah Wulan yang kaget dan kemudian berubah murung.

Telephone rumah berdering, Pak Pras bangkit dari duduknya sementara Wulan hanya memandang ayahnya dengan wajah bergambar kecemasan. Pak Pras menerima telepon dari kawannya,  tertawa-tawa, Wulan merasa lega, bukan berita buruk tentang suaminya pikirnya. Dia berjalan mondar mandir dari ruang tamu ke ruang tengah kembali lagi ke ruang tamu. Pak Pras menangkap kecemasan anaknya tetapi dia bertahan diam, sekali lagi memang demikian skenarionya. Bukan tega membiarkan anaknya dalam kecemasan tetapi memang sengaja membuat anaknya berani mengambil langkah yang pasti atas kesadaran sendiri. Dia mahasiswi managemen dan sudah teruji keberhasilannya membantu mengurus usaha penginapan keluarganya bahkan mengelola usahanya sendiri. Sekarang saatnya dia belajar menata emosinya dalam mengatasi masalah rumah tangganya. Selama ini Pak Pras banyak memberi masukan tetapi belum tampak titik terang. Padahal kalau dicermati masalahnya tidak terlampau berat. Di cemburui pasangan  terkadang kan malah menyenangkan, tandanya dia cinta dan takut kehilangan kita, kata Pak Pras waktu itu. Tetapi di satu sisi Pak Pras juga memaklumi  perasaan Wulan yang merasa terhina. Ya, memang anaknya tipe istri setia dan bisa menjaga diri.
Tentu saja tuduhan Faisal membuatnya terluka. Apalagi setelah pertengkaran mereka terjadi, istri Hasto ternyata sempat mengirim pesan padanya agar tidak bermain api. Rasa kesal kian meraja di hati Wulan, sekarang dia mengerti mengapa Faisal bersikap aneh padanya. Wulan mulai merasa bersalah atas tuduhannya pada Faisal tetapi masih ada satu hal yang masih mengganjal pikirannya, tentang anak Bu Helena. Wulan tak mengunggkapkan kerisauannya pada siapapun, dia menelannya sendiri. Pesan dari istri Hasto tidak pernah di tanggapinya walau sisi lain dari dirinya membujuknya memarahi istri Hasto, agar tidak sembarangan berbicara. Kalau toh tidak begitu, sebenarnya bisa saja dia mengadukan tuduhan istri Hasto pada Hasto.  Tetapi Wulan khawatir masalah rumah tangganya menjadi makin rumit ketika dia membuka akses komunikasi dengan Hasto. Alasannya karena sebenarnya Wulan sempat menangkap sorot mata Hasto yang menurutnya agak aneh, Wulan merasakan Hasto masih menyukainya. Wulan mengakui ketajaman Faisal dalam mendeteksi bahasa tubuh Hasto saat itu, saat mereka bertemu tanpa sengaja di penginapan orangtua Wulan. Bahasa tubuh Hasto  yang menunjukkan rasa suka yang masih tersisa pada Wulan. Namun Hasto adalah pria yang cukup sopan dan bisa mengendalikan dirinya.
Jam dinding berdentang sepuluh kali. Pak Pras mengingatkan istrinya harus menghubungi Bu Syahriza yang malam ini menginap di rumah Faisal.
Informasi yang di dapat dari Bu Syahriza, sejak tadi siang hingga pukul sepuluh malam Wulan belum menghubungi Faisal maupun menelpon rumahnya. Keras kepala atau keras hati atau belum mampu menyungkurkan gengsi? Ternyata Wulan masih merasa gengsi walau kerinduannya pada Faisal meletup-letup dan rasa khawatir terus terukir di pikir sejak mendengar kabar Faisal terkilir. Sementara Faisal masih belum bersedia bila Wulan di beritahu tentang kondisinya

**
        Mengisi harinya yang kian sepi, Wulan menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan seminar, mendatangi pameran tanaman dan kegiatan rutinnya, mengikuti kajian keagamaan beberapa kali dalam seminggu dan melaksanakan program-program yang telah mereka rancang. Namun kesepian masih meraja di jiwanya. Apalah artinya ilmu setinggi angkasa bila dia tidak mengamalkannya, bila ego masih menjadi sesuatu yang besar sementara dalam sehari entah berapa kali dia mengucap Allahuakbar. Apalagi tema kajian tadi adalah silaturahim, yang maknanya demikian dalam. Menyambungkan yang terputus. Dan orang yang lebih dulu berusaha menyambung silaturahim akan mendapat pahala yang besar.Demikian bisik hatinya sepulang mengikuti kajian pagi itu. Lima menit kemudian dia membalikkan arah mobilnya menuju rumahnya.
Tiga kali dia menekan bel rumahnya namun tidak ada tanda-tanda pintu terbuka. Tak putus asa, dia mencoba menghubungi telepon rumahnya hingga tiga kali tetapi nihil, tidak ada yang mengangkat. Demikian juga ketika dia menghubungi Hp suaminya, nihil.sedang tidak aktif,

        “Ya Rabbi, kuatkan hatiku agar tidak berbalik pada kebodohan lagi!” bisik Wulan sambil menyurut air matanya sambil menuju mobilnya.

Dua puluh menit kemudian Wulan sudah berada di toko bunganya “Zahra Garden” sebuah toko bunga  hidup yang lebih mirip dengan kebun. Ada beberapa pohon besar dan rindang, ayunan, dan gazebo. Bahkan di tempat itu juga ada tempat pembibitan tanaman. Walau bukan sarjana pertanian, Wulan memang memiliki minat yang tinggi terhadap tanaman hias, alhasil hobinya itu bisa menghasilkan uang.
Wulan berjalan-jalan sambil mengamati dagangan sekaligus kesenangannya itu. Tetapi kali ini pikirannya tidak sedang fokus pada tanamannya melainkan pada suaminya dan seonggok hatinya yang benar-benar sedang lara. Dia ingin menyembuhkannya dengan kata maaf dan berharap di maafkan. Memelihara ego ternyata membuatnya kian sakit jiwa, tak bermakna apa-apa tak pula berpahala, pikirnya sambil mengamati tunas-tunas muda tanaman sansivera. Saat memandangi tunas tanaman itu, tiba-tibadia berpikir,  sansivera adalah tanaman yang bisa mengikat radikal bebas dan polusi. Kabarnya di sekitar pembangkit nuklir AS, ada ratusan hektar lahan sansivera. Wulan menghembuskan nafas, radikal bebas...ya dia merasa jiwanya terlampau banyak radikal bebas yang bisa membuat kanker hati. Marah, dendam, gengsi, suudhon, egois.
        “Ya Allah, terimakasih, kau maha pembimbing, kau arahkan mataku untuk melihat tunas sansivera itu. Astaghfirullah, laahaula wala quwwata illa billah...tolong aku ya Allah !” ucapnya lirih tetapi sangat dalam.
Dengan langkah agak gontai Wulan berjalan menuju kursi panjang di bawah pohon rambutan. Lima menit kemudian Hp nya berbunyi. Ibunya mengajaknya ke Islamic Book Fair di Istora Senayan. Ajakan yang cukup menyenangkan, Wulan baru sadar, bahwa Islamic Book Fair sudah datang lagi. Dia menarik nafas dalam, teringat, tahun lalu dia mengunjungi IBF bersama Faisal, berdua saja karena Najwa memilih ikut neneknya. Mereka benar-benar menikmati waktu berdua yang istimewa. Sekarang, kondisinya sudah berbeda. Wulan menarik nafas dalam,perih.

**
        Sudah dua puluh menit mereka berjalan berkeliling dari stand ke stand. Ketika mereka akan meninggalkan sebuah stand buku lama, tiba-tiba Bu Hesti tidak nampak. Wulan nampak mencari-cari ibunya tetapi Pak Pras tenang saja sambil meyakinkan Wulan bahwa ibunya tidak berada jauh-jauh dari mereka. Benar saja, tiba-tiba Bu Hesti sudah muncul lagi dari arah mushola. Wulan sedikit protes, Bu Hesti hanya tersenyum dan meminta maaf kemudian segera mengalihkan pembicaraan seraya mengajak mereka ke sebuah stand salah satu penerbit terbesar di Indonesia.  Tidak banyak kata, Pak Pras segera berjalan ke arah yang ditunjuk Bu Hesti.   

        “ Lan,si Gita tadi minta di carikan islamic chicken soup parenting, tolong kamu yang mencarikan  ya. Kamu kan lebih faham, Mama mau lihat-lihat buku ini dulu, untuk keperluan penginapan kita Lan, biasa...soal tata ruang, dekorasi hehe !”

Wulan pun berjalan dari rak ke rak sampai akhirnya menemukan jajaran buku islamic parenting. Wulan mulai bingung memilih yang mana, semua menarik, semua bagus, semua penting tetapi Gita hanya minta dibelikan satu saja dan katanya terserah Wulan. Tangan kanan dan kiri Wulan memegang buku yang berbeda, menimbang-nimbang memilih yang mana. Akhirnya dia meletakkan dua buku itu ke tempatnya dan mengambil telponnya, dia berniat menelpon Gita lebih dahulu untuk memberikan gambaran tentang buku tersebut. Baru saja meletakkan telepon di telinganya..... 

Tiba-tiba mata Wulan terbelalak, dia segera menurunkan telepon. Matanya terkunci pada mata itu, degup jantungnya berdetak lebih kencang. Ada perasaan indah yang membuatnya salah tingkah tak karuan. Demikian juga orang yang berada sekitar tiga meter di hadapannya, tampak kaget dan salah tingkah, Namun kemudian masing-masing mengulum senyum sambil mengalihkan pandangan.

Bersambung...




#NulisRandom2017
#harike21 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Senyum Sang Guru

Sejak saat itu, ambisinya untuk membuat karya indah kian meruang. Namun, seolah sang ide bergegas pergi, mood meleleh.   Tumpukan buku, ...