“Mencari gara-gara apa?” tanya Faisal
“Kalau niat berpisah,
bicara saja yang jelas Bang !” jawab
Wulan ketus sambil melotot, emosinya tak terkendali, tidak biasanya pula dia
bersikap demikian terhadap suaminya.
Faisal hanya diam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dalam hatinya
mulai terbersit rasa bersalah atas sikapnya, dia meminta maaf pada Wulan tetapi
Wulan sudah terlanjur kesal. Wulan
akhirnya berburuk sangka pula,itu
hanya akal-akalan Faisal saja, bisa jadi Faisal ingin menikah lagi. Sudah sebulan
terakhir sebenarnya Wulan sedikit risau dengan salah satu nomor telepon asing yang sempat masuk ke Hp Faisal. Suatu
saat, Hp Faisal berbunyi berulang-ulang, sementara Faisal sedang istirahat
karena baru pulang dari luar kota. Terpaksa Wulan mengangkat telepon itu,
khawatir bila ada berita penting. Ternyata si penelpon adalah anak Bu Helena.
Ketika ditanya ada keperluan apa, nada suaranya tampak bingung dan katanya
sedang di suruh ibunya menayakan perihal pesanan pamflet Pak Faisal kemarin.
Wulan menjawab apa adanya dan menanyakan apakah ada pesan yang perlu
disampaikan pada suaminya, tetapi dia buru-buru menutup telepon. Wulan merasa ada
yang aneh dengan sikap anak itu. Tak kurang akal, Wulan menelpon Bu Helena.
Ternyata tidak ada masalah apa-apa dengan pamflet pesanan Faisal. Wulan segera
menghapus history call dari Hp suaminya dan tidak menceritakan sedikitpun
perihal telepon tersebut. Saat itu juga Wulan jadi teringat satu hal. Saat
Faisal mengajaknya ke tempat usaha Bu
Helena, ada seorang wanita yang
masih cukup muda tak henti-hentinya mengamati mereka berdua. Sampai-sampai Wulan merasa risih.
Sampai akhirnya Wulan sengaja memandang ke arah wanita muda itu, saat beradu
mata ,Wulan mengajaknya tersenyum , dia membalas senyuman Wulan dengan senyum
kecut dan agak malu. Belakangan Wulan baru faham, bahwa wanita muda yang
kemarin menelpon Faisal dan mengamatinya memang anak gadis Bu Helena. Dan memang dia masih sering
menelpon Faisal tanpa malu-malu, walau Faisal menanggapi dingin saja,bahkan pernah
Faisal mengatakan sedang sibuk. Tetapi Wulan terlanjut tersulut api cemburu.
Malam itu, kerisauan Wulan tumpah ruah dihadapan Faisal.
“Kalau Abang tidak memberi
angin segar, mana berani dia menelphone suami orang? Beberapa kali aku
perhatikan, setiap kita ke tempat Bu Helena, Abang ramah padanya, hati-hati bersikap ramah pada
wanita Bang !” ucapan Wulan nerocos tak
terkendali.
“Wulan, apa-apaan kamu ini ? ” tanya Faisal sambil
berdiri dari duduknya dengan ekspresi wajah yang kaget luar biasa.
“Sudah Bang, sudah....!” kata
Wulan kemudian meninggalkan suaminya.
Faisal membuang nafas, kemudian kembali menghempaskan badannya ke kursi.
Rasa sesal memenuhi hatinya. Tetapi menurutnya bukan saat yang tepat untuk
mendekati Wulan dan mengajak bicara baik-baik saat itu juga.
Namun,
syetan selalu pandai mengipas api,menggosok masalah menjadi indah. Mereka
benar-benar sudah terjebak itu semua. Padahal bila ditelisik,masalah mereka
tidak terlampau berat. Itulah yang mengherankan para orang tua mereka.
**
Faisal dan Wulan telah berani menerjang
palang yang telah di buat keluarga
masing-masing dan akhirnya bisa menikah. Hebatnya,
mereka bisa menyatukan dua
keluarga yang berbeda suku itu dalam sebuah hubungan yang harmonis mengapa justru
sekarang mereka berniat bercerai. Tidak
bisa dibiarkan, pikir orangtua mereka.
Saat itu, setelah terjadi percekcokan lagi, Pak Marzuki ayah Faisal sempat menelpon Pak Pras, ayah Wulan. Beliau menyampaikan permintaan maafnya
atas kejadian yang menimpa anak –anak meraka dan meminta untuk tetap bersikap
bijak, tidak memihak dan membela dengan emosional. Beruntung, Pak Pras sepemikiran dengan besannya. Pak Pras
justru mengajak mereka untuk bergandengan
tangan membantu mengatasi masalah anak-anak mereka.
**
“Kita harus mencari cara jitu agar
mereka rukun kembali, ini tidak bisa dibiarkan....!” tukas Pak Pras.
“Benar Pak, tetapi apa lagi yang harus dinasehatkan,
saya sudah mengatakan, bahwa perjuangan mereka untuk bisa bersatu sangat luar
biasa mengapa sekarang mereka ingin bercerai?” sahut Bu Syahriza.
“Satu hal yang masih segar dalam ingatan
saya, mereka pernah mengatakan
akan tetap menikah walau kita tidak menyetujui.....!”
sahut Bu Hesti, matanya menerawang
“Ah, yaaa...!” sahut Pak Marzuki
tiba-tiba “Bagaiamana kalau kita gantian mengancam mereka?” katanya sambil
tertawa lebar. Spontan Bu Syahriza memandang ke arah suaminya dengan kulit
Jidat berlipat-lipat.
Pak
Pras tertawa lebar sambil manggut-manggut tanda setuju seperti sudah faham
dengan maksud Pak Marzuki. Sementara Bu Hesti masih kebingungan, mencoba
mengingat apa yang di ucapkannya
beberapa detik yang lalu, mengapa bisa memunculkan ide mengejutkan dari kepala
Pak Marzuki. Namun kebingungannya
seoalah terlindas oleh obrolan Pak Pras dan Pak Marzuki yang kian menggebu. Akhirnya
mereka berempat terlibat obrolan panjang dan serius. Satu jam kemudian, dua pasangan usia senja itu meninggalkan rumah makan
di daerah Bogor. Sengaja mereka mengadakan pertemuan yang di rahasiakan dari
Wulan dan Faisal untuk membahas permasalahan keluarga anak-anak mereka.
Sesampai
di rumah, mereka langsung melancarkan aksinya. Ketika Wulan menanyakan kemana orangtuanya pergi dari
pagi sampai malam, Pak Pras dan Bu Hesti
menjelaskan bahwa mereka ingin melepas kepenatan dan kesedihan.
Sementara Pak Marzuki beralasan menghibur hati ibu Faisal karena terpukul
dengan rencana Faisal untuk bercerai.
Rupanya aksi mreka berhasil, sehari kemudian Wulan kembali
ke rumahnya lagi, berusaha berdamai dengan Faisal. Namun sayang, api cemburu Faisal belum benar-benar padam,
sementara perasaan kesal dan terhina di
tambah rasa curiga dan cemburu yang teracik dalam hati Wulan juga masih
berkecambah. Cemburu dan marah sangatlah wajar tetapi memang sering kali
tidak di landasi alasan yang baik, itulah yang sedang terjadi pada mereka.
Hari
itu, sabtu pagi Wulan datang ke rumah orangtuanya. Hal itu memang sering di lakukannya.
Tetapi kali ini ada yang berbeda, dia tidak
juga bersiap pulang ketika petang datang menjelang. Kurang enak badan, makanya
dia memutuskan menginap di rumah orangtuanya, demikian alasannya. Orangtua mana
yang tidak bisa membaca sorot mata dan bahasa tubuh anaknya? Sangat dimengerti oleh Bu Hesti dan Pak Pras, tidak enak badan
Wulan sebenarnya bersumber dari hatinya
yang tak tentram.
Mereka mengiyakan saja alasan anaknya, tidak berusaha mengorek ataupun
menasehati yang berlebihan apalagi
bersuara keras, sangat tidak. Bu Hesti hanya mendengarkan dan mencermati letupan ucapan Wulan tentang
kekesalannya juga harapannya. Sedikit saja nasehat yang diberikan Bu Hesti
yaitu meminta Wulan agar sabar dan menjaga sholatnya. Baik Sholat fardhu maupun
sholat sunahnya. Mereka juga memberikan perhatian dengan menawarkan makanan
yang mungkin diinginkannya, menawarkan tukang pijit dan mengajak sang cucu untuk
tidur bersama nenek dan kakeknya.Itu saja.
Bu
Hesti sempat menemukan semacam sebuah kesimpulan “curahan
hati” Wulan. Bukan berupa perasaan
kesal semata namun ada kesedihan
hatinya menghadapi kenyataan hubungannya dengan Faisal memburuk. Tidak ada lagi
candaan dan ledekan suaminya yang membuatnya gemas. Dia sangat merindukan
suasana rumah dan suasana hati yang dulu. Wulan juga bersumpah, tidak pernah menjalin
hubungan spesial dengan Hasto, sejauh ini laki-laki yang bisa menaklukkan
hatinya hanyalah Faisal. Dan tuduhan baliknya pada Faisal sebenarnya tidak
benar-benar dari hatinya. Dalam hati kecilnya, Faisal adalah laki-laki yang
baik, setia dan bertanggungjawab. Wulan merasa prilaku aneh Faisal itu pasti
ada sebabnya, ada pihak luar yang memprovokasi dan itu bukanlah wanita idaman lain. Wulan juga mengatakan dia sangat mencintai
suami dan keluarganya.
Malam itu, di hari yang sama ketika Wulan menginap di rumah orangtuanya, Bu
Hesti menelpon besannya, Bu Syahriza.
Beliau menceritakan “hasil temuan” nya pada besannya itu. Tak perlu menunggu
lama, selepas mendapat laporan itu, Bu Syahriza segera menelpon Faisal.
“Apa
yang sedang terjadi,Nak? apakah benar dugaan istrimu bahwa ada pihak
luar yang memprovokasi?” tanya Bu Syahriza dengan intonasi indah.
Kemudian Bu Syahriza menceritakan sesuatu pada Faisal. Hening,
Faisal menghela nafas. Ada yang ingin diucapkannya tetapi lidahnya terasa kelu.
“Ayolah
Nak, sampai kapan akan begini. Berteru sterang lah Nak...!” rajuk Bu Syahriza
dengan nada yang lembut, menggetarkan
kalbu. “Kalian sudah mampu menyatukan dua keluarga yang berbeda suku
menjadi hubungan yang baik, apakah kau pikir Allah dan Bunda rela melihat keluarga kecilmu menjadi neraka
dunia ?”
Faisal
menarik nafas perlahan sambil memejamkan matanya. Masih hening, tak ada sepatah
katapun yang diucapkan Faisal. Tak lama kemudian Ibunya mengakhiri pembicaraan,
sebelumnya meminta Faisal untuk selalu memohon pertolongan Allah untuk dimampukan
menemukan akar masalah keluarganya.
Guntur
menggelegar, menimbulkan resonansi di kaca jendela. Angin berhembus cukup
kencang membuat pohon berbatang kecil meliuk-liuk. Namun Faisal tak bergeming, seolah tak mendengar
isyarat hujan itu. Sampai akhirnya air
benar-benar luruh dari langit, Faisal masih termenung. Menghadap taman dan
kolam kecil dekat meja makan. Tidak ada Wulan di sampingnya seperti biasanya,
tak ada senyum yang menimbulkan lesung pipi. Senyap hatinya. Rasa iba pada istrinya mengembang di dada,saat
teringat berita yang di bawa ibunya tadi. Betapa tidak, sampai-sampai istrinya menulis curahan
hatinya, itu bukanlah kebiasaan istrinya dalam mengatasi kegalauan hatinya. Rasa
bersalah menyusul rasa iba. Tiba-tiba dia teringat filosofi indah yang sudah
mereka bangun selama ini, kelemahanmu
untuk ku maklumi, kelebihanmu untuk ku syukuri. Tetapi... rasa cemburu
masih menghadangnya. Apakah dia takut menyungkurkan rasa itu atau egonya yang menariknya
agar mundur?
Bersambung
#NulisRandom2017
#harike20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar